ALASAN PENGHAPUS PIDANA DALAM KUHP
DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan dari
hukuman adalah sebagai faktor
untuk mencegah tejadinya perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar
ketentuan-ketentuan hukum atau dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Jelasnya hukuman itu merupakan
salah satu alat atau faktor untuk merubah sikap seseorang sehingga akan
menimbulkan keinsafan bagi diri seorang untuk tidak melakukan atau
mengulangi perbuatan terlarang itu.[1] Hukuman itu juga bermaksud sebagai
alat pencegah (preventif)
agar supaya manusia tidak melakukan perbuatan pidana dan sekaligus sebagai
hukuman supaya perbuatan pidana tidak lagi diperbuat (represif). Di sisi
lain dapat juga dikatakan bahwa
penghapusan hukuman (pidana) dibolehkan karena terdapat sifat atau keadaan
tertentu pada diri si pembuat baik itu datangnya dari luar maupun dari dalam
diri.
Penghapusan
pidana yang dimaksudkan adalah sesuatu hal yang dapat melepaskan seseorang dari
suatu hukuman walaupun suatu perbuatan yang diperbuatnya merupakan sebuah
tindak pidana (delic). Alasan penghapus
pidana atau sering dikenal dengan istilah Strafuitsluitingsground
diartikan sebagai keadaan
khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa)
yang, kalau
dipenuhi, menyebabkan-meskipun terhadap semua unsur tertulis dari
rumusan delik telah dipenuhi-tidak
dapat dijatuhkan pidana.[2]
Alasan penghapus pidana dalam literatur ilmiah
juga menyebutkan ada dua jenis alasan penghapus pidana yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf.[3]
Walaupun dalam KUHP sendiri tidak disebutkan pembagian yang demikian.
Alasan pembenar adalah alasan
yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan
oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.[4]
Sedangkan alasan pemaaf ialah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.[5]
Dalam hal ini Penulis bisa katakan bahwa alasan pembenar menghapuskan dapat
dipidananya perbuatan sedangkan alasan pemaaf menghapuskan dapat dipidananya
pembuat.
Hapusnya pidana seseorang yang
telah melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dilarang dan
diancam dengan hukuman, tetapi tidak dapat dijatuhi hukuman oleh karena
terdapat keadaan jiwa tertentu pada dirinya, sehingga ia tidak layak dibebani
hukuman pidana itu. Dalam hal ini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sendiri mengenal beberapa faktor yang dapat menyebabkan atau memungkinkan
penghapusan pidana. Hal ini dapat dilihat, di dalam pasal-pasal KUHP yang
antara lain terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 yang diatur tentang
hal-hal yang menghapuskan pidana. Isi pasal-pasal tersebut antara lain
berbunyi:
Pasal 44 KUHP
1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. Jika perbuatan itu tidak dapat
dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku
bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Pasal 48
KUHP
Barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal 49 KUHP
1. Tidak dipidana, barangsiapa melakukan
perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain,
kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain karena
serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan
hukum.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP
Barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.
Pasal 51 KUHP
1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.
2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak
menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik
mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk
dalam lingkungan pekerjaannya.
Berbeda halnya
dengan KUHP di atas, penghapusan pidana dalam hukum Islam juga telah jauh-jauh
hari diatur. Dalam
hukum Islam, pertangungjawaban pidana dalam tuntutan hukum adanya perbuatan
yang dilarang, dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan pembuatnya mengetahui terhadap
akibat perbuatan tersebut. Hukum Islam juga tidak membebankan hukum terhadap
orang yang dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, tidak juga orang yang telah
hilang akal sehatnya yang dikarenakan bukan sebab adanya disengaja seperti
mabuk karena meminum minuman khamar atau minuman yang memabukkan lainnya.[6]
Asbab al-ibahah yaitu sebab
dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban, adapun asbab raf`i
al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang
dilakukan itu dibolehkan melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang.[7]
Alasan penghapus
pidana dalam hukum Islam menunjukkan bahwa tidak setiap pelaku
perbuatan melawan hukum dapat dikenakan sanksi pidana. Akan tetapi, ada
keadaan tertentu yang mana pelaku pidana tidak dapat dijatuhkan hukuman, baik
itu dikarenakan faktor dari dalam maupun dari luar keadaan pelaku itu sendiri.
Tinjauan hukum Islam terhadap alasan penghapus pidana dalam KUHP menunjukkan
bahwa ada sebuah kesenjangan di dalam KUHP, yang mana seharusnya seperti di
dalam hukum Islam pelaku pidana tersebut tidak dapat dipidana atau dijatuhi
hukuman. Akan tetapi, dalam KUHP pelaku tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan uraian di atas dan berbagai permasalahannya,
maka penulis merasa perlu meneliti dalam bentuk skripsi dengan judul “ALASAN
PENGHAPUS PIDANA DALAM KUHP DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari
latar belakang diuraikan tersebut di atas, maka penulis mempunyai beberapa
rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam penulisan
skripsi ini, yaitu :
1. Pidana apa saja yang dapat dihapus dalam
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
2. Bagaimanakah alasan penghapus
pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
3. Bagaimanakah
tinjauan hukum Islam terhadap alasan
penghapus pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan pidana-pidana yang dapat dihapus dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2.
Untuk mengetahui dan menjelaskan alasan penghapus
pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan alasan penghapus
pidana dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) ditinjau menurut hukum Islam.
1.4.Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah
yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yaitu:
1.
Alasan
Penghapus Pidana
2.
KUHP
3.
Hukum
Islam
Ad.1.
Alasan Penghapus Pidana
Dalam Kamus
Hukum, berarti yang membenarkan sesuatu perbuatan pidana.[8]
Sedangkan penghapus bisa dikatakan sesuatu hal yang bisa menghilangkan sesuatu.
Sedangkan pidana adalah hukum mengenai perbuatan kejahatan dan pelanggaran
terhadap penguasa.[9] Jadi,
alasan penghapus pidana yang penulis maksudkan dalam skripsi ini adalah suatu
perbuatan pidana yang dilakukan seseorang yang seharusnya dihukum, akan tetapi
karena ada alasan penghapus pidana maka pelaku tidak dikenakan pidana.
Ad. 2. KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) merupakan warisan dari
zaman Hindia Belanda, yaitu : Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlansch Indie
yang mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1918, baik untuk golongan penduduk Indonesia, Timur
asing dan golongan Eropa.[10]
Istilah KUHP di sini adalah
merupakan terjemahan dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berarti: “keseluruhan
kesatuan peraturan perundang-undangan yang lengkap tentang suatu bidang hukum
yang diterbitkan dalam sebuah buku yang dinamakan dengan kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP)”.[11]
Dengan demikian jelas bahwa KUHP adalah sebuah kitab atau buku yang telah
dikodifikasikan atau kumpulan dari hukum pidana, yang memuat tentang peraturan
umum, kejahatan dan pelanggaran yang berlaku di Indonesia.
Ad. 3. Hukum Islam
Hasbi Al-Shiddieqy mendefinisikan
bahwa hukum Islam adalah segala sesuatu yang disyari`atkan dengan al-Qur`an
ataupun dengan sunnatu rasul sabdanya, perbuatannya, ataupun taqrirnya. Hal ini melengkapi
ushuluddin (pokok-pokok agama sebagaimana melengkapi masalah-masalah akhlak dan
hubungan manusia sesama manusia dan melengkapi pula apa yang menjadi tujuan
hidup untuk memperoleh puncak ketinggian dan jalan-jalan yang harus ditempuh
untuk itu dan tujuan penghabisan dari hidup ini.[12]
Dari defenisi di atas jelas sekali bahwa hukum Islam adalah semua peraturan
yang berisi hukum-hukum yang datang dari Allah SWT, disampaikan oleh Rasulnya
Nabi Muhammad SAW sebagai pengatur kehidupan dan penghidupan umat manusia dalam
hubungannya dengan tuhannya, dengan masyarakat dan negara.
1.5. Kajian Pustaka
Adapun mengenai persoalan yang menyangkut tentang alasan penghapus pidana dalam KUHP terdapat beberapa karya tulis berbentuk skripsi dan dalam bentuk buku antara lain :
Pertama,
skripsi yang ditulis oleh Muzakir yang berjudul, “ Overmacht (Suatu Perbandingan Antara Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Hukum Pidana Islam)” skripsi ini
menjelaskan tentang alasan penghapus pidana salah satunya yaitu overmacht. Akan
tetapi tidak menjelaskan alasan penghapus pidana lainnya. Kedua, buku yang digunakan penulis juga adalah Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Buku yang
ditulis oleh Ahmad Hanafi yang diterbitkan oleh P.T. Bulan Bintang ini menjelaskan apa yang menyebabkan suatu
pidana dapat dihapuskan. Buku ini menyajikan penjelasan yang sangat menarik,
dan buku ini juga banyak dijadikan sebagai sumber primer dalam sebuah
penelitian yang berhubungan dengan
pidana Islam.
Ketiga, buku yang
digunakan penulis adalah buku karangan Ahmad Wardi Muslich. Buku yang bejudul
pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam ini menjelasakan juga alasan
penghapus pidana dalam hukum Islam dan kaitannya dengan alasan penghapus pidana
dalam KUHP. Keempat, buku yang berjudul Ensiklopedi Hukum
Pidana Islam, buku yang berjumlah lima jilid ini banyak sekali menjelaskan apa
yang menjadi kajian penulis dalam penulisan skripsi ini, seperti pengertian
alasan penghapus pidana, pendapat para fuqaha maupun penjelasan yang menyangkut
dengan ketentuan hukum pidana Islam dalam hal penghapusan hukuman itu sendiri.
Kelima, Seperti buku karangan Moeljatno yang berjudul
Asas-asas Hukum Pidana. Buku yang diterbitkan oleh P.T. Rineka Cipta ini menjelaskan bentuk-bentuk alasan
penghapus pidana dalam KUHP dan penjelasannya. Keenam, buku yang digunakan penulis juga adalah buku karangan Adami Chazawi yang berjudul Pelajaran
Hukum Pidana II, buku ini juga menjelaskan apa yang menjadi alasan penghapus
pidana dalam KUHP. Ketujuh, penulis
juga menggunakan bukunya Schaffmeister dkk yang berjudul Hukum Pidana. Buku setebal 447 halaman ini menjelaskan pendapat
pakar tentang alasan penghapus pidana, buku ini juga menjelaskan bentuk-bentuk
alasan penghapus pidana.
Berdasarkan penelusuran yang
penulis lakukan di perpustakaan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, belum ada skripsi
yang membahas tentang Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP ditinjau Menurut Hukum
Islam, jadi penulisan skripsi ini dapat dikatakan “asli dan jauh dari unsur
plagiat” yang bertentangan dengan azas-azas keilmuwan yang jujur, obyektif,
integritas dan terbuka, sehingga dapat dipertangungjwabkan secara ilmiah.
1.6. Metode Penelitian
Pada dasarnya setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data-data
yang konkrit dan objektif serta mempunyai metode-metode tersendiri. Dalam
penulisan dan pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif komparatif, yaitu dengan
mengadakan perbandingan antara hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Pengumpulan data primer dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan
menelaah kitab-kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan.
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penyusunan dan penulisan
skripsi ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, Al-Qur’an, Al-hadist, dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hubungannya dengan topik pembahasan
skripsi.
Bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer bahkan bahan hukum sekunder
yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif
yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Untuk terjemahan
ayat-ayat Al-Qur’an dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil dari
Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah
Penafsiran Al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia .
Akhirnya dalam penulisan dan
penyusunan karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku pedoman karya tulis
ilmiah dan pendoman transliterisasi Arab latin, yang diterbitkan oleh IAIN
Ar-Raniry Tahun 2010.
1.7. Sistematika Pembahasan
Berdasarkan permasalahan dan beberapa
hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan skripsi ini dibagi dalam 4
(empat) bab yaitu:
Bab Satu, Pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, Rumusan
masalah, Tujuan penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian pustaka, Metode
penelitian, dan Sistematika pembahasan.
Bab Dua, mengenai landasan teoritis, yang meliputi pengertian, dasar hukum dan pendapat para
pakar tentang alasan penghapus pidana dalam KUHP maupun dalam Hukum Islam. Yang
sekaligus merupakan kerangka untuk mendasari tulisan skripsi ini.
Bab Tiga, mengenai pidana yang dapat dihapuskan dalam KUHP,
konsep Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP serta tinjauan
Hukum Islam tentang Alasan Penghapus
Pidana dalam KUHP.
Bab Empat,
merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari
permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.
mau skripsi lengkap hubungi -085373322117
[1] Muzakir, “ Overmacht Suatu Perbandingan Antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan Hukum Pidana Islam” (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas
Syari`ah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 1994, hlm. 26.
[2]Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH.
Sutorius, Editor Penterjemah; J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu
Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 55.
[6] Topo Santoso, Membumikan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hlm.
10.
[7]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2005), hlm. 85.
[9] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.3.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 889.
[10] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap, cet.
x. (Bogor: Politeia, 1988), hlm. 23.
[12]
Hasbi Al-Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar