PENYERTAAN DALAM MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran. Golongan dan
aliran itu beraneka ragam dan masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan
tetapi kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam masyarakat.
Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari adalah setiap orang harus
merasa terlindungi. Agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman
tentram dan damai tanpa adanya gangguan, maka bagi setiap manusia perlu adanya
suatu tata (ordo=ordnung).[1]
Tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman setiap tingkah laku
manusia dalam pergaulan hidup sehingga kepentingan masing-masing dapat
terpelihara dan terjamin. Selanjutnya aturan-aturan yang dijadikan pedoman itu
lazim dikenal dengan istilah hukum atau tata tertib hukum.
Hukum atau tertib hukum tersebut bukanlah merupakan tujuan melainkan
hanya sebagai sarana mencapai suatu tujuan. Hukum yang terjelma melalui produk
perundang-udangan harus dapat diuji keadilannya, kemanfaatannya dan
kepastiannya untuk mengatur manusia. Hukum merupakan suatu pranata sosial yang
primer dalam suatu masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan suatu sarana yang
dapat memberikan jaminan rasa aman dan terwujudnya keadilan, yang hal itu akan
tercipta jika hukum yang ada dilaksanakan dan diterapkan dengan adil yang
sesuai dengan asas-asas yang berlaku.
Dalam Islam, seluruh aktivitas manusia diatur berdasarkan syari’at Allah
SWT yang terkandung dalam Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Setiap orang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh
hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termasuk dalam Al-Qur’an dan
Sunnah ini.
Tujuan umum syar’i dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya adalah mewujudkan
kemaslahatan-kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok) dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat)
serta kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyat).
Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu dari tiga
hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kebutuhan manusia.
Sesuatu yang besifat tahsini
tidaklah dipelihara apabila dalam pemeliharaannya terdapat kelalaian (perihal
melalaikan kewajiban) terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy). Sesuatu yang bersifat kebutuhan
dan kebaikan tidaklah dipelihara apabila dalam memelihara salah satunya
terdapat kelalaian (perihal melalaikan kewajiban) terhadap yang dharuri.[2]
Dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya manusia menjalani kehidupan yang
wajar. Pada tempat dan masa tertentu dia bisa mengalami hal-hal yang berada di
luar kemampuannya untuk menolak, menghindar dan menguasainya. Maksudnya keadaan
yang membahayakan hidupnya, seperti adanya hasutan dan ajakan diri orang lain,
dalam keikut sertaannya untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan lainnya
dan sebagainya. Dalam hukum Islam hal ini disebut dengan tindak pidana
penyertaan atau istilah lainnya keikut sertaan dalam melakukan suatu jarimah. Dalam
hal yang demikian itu, yang dengan berdasarkan prinsip keadilan dan
kemaslahatan, Islam menawarkan jalan keluar berupa pemberian pembelajaran dan
sanksi pada pelaku kejahatannya dalam suatu tindak pidana.
Pada dasarnya hukum itu diciptakan dan diundangkan, mempunyai tujuan
untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan, menghindarkan
kemadharatan bagi manusia. Untuk itu hukum wajid dipelihara, supaya pembentukan
hukum dapat mengantarkan kepada merealisir kemaslahatan manusia serta menegakan
keadilan di antara mereka. Di dalam syari’at Islam terdapat kaidah ushuliyah
yang berhubungan dengan tujuan pembentukan hukum, atau undang-undang yang
berbunyi :
د رو المفا سد مقد م عل جلب المصا لع
Artinya: “Menarik keuntungan untuk mereka, dan
melenyapkan bahaya dari mereka”.[3]
Perbuatan keikut sertaan adalah perbuatan yang dilakukan seseorang untuk
melakukan sesuatu kejahatan dalam memperoleh sesuatu hal milik orang lain atas
dasar keikut sertaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, demi
mendapatkan kehormatan dan harta benda, milik orang yang lain dengan cara yang
salah. Keadaan yang berakibat langsung dari adanya perbuatan kejahatan seperti
ini biasanya pihak kedua langsung bersama-sama melakukan sesuatu perjanjian dan
kesepakatan dalam melakukan aksi kejahatannya. Kondisi jiwa seperti itu dapat
seseorang berbuat nekat dalam melakukan kejahatan atau tindak pidana dan
berakibat fatal yang merugikan pihak lain.
Dari segi perbuatannya, tindakan tersebut merupakan tindakan yang melawan
hukum, karena di samping merugikan orang lain juga tidak dibenarkan dalam
aturan agama, karena perbuatan tersebut juga dinilai sebagai tindakan yang
bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dilingkungan masyarakat. Perbuatan
keikut sertaan (penyertaan) tersebut
dilakukan setelah ia mendapat perintah, ajakan dan bujukan dari pelaku utamanya
(deeder) maka terjadi terpidana dari
perbuatannya.
Dalam hukum pidana Islam, keikut sertaan dalam melakukan perbuatan
kejahatan itu, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain : Penyertaan tersebut
harus dilakukan atas kemauannya dan perintah atasannya, artinya seimbang antara
kepentingan bagi pihak pertama dan kedua dengan berbagai resiko yang akan
dihadapinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Q.S. An Nisa’ ayat
16 sebagai berikut :[4]
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸J‹Ïm§‘ ÇÊÏÈ
Artinya : “Dan terhadap dua
orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada
keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. An Nisa’ ayat : 16).
Dalam al-Qur’an dan tafsir, dijelasakan bahwa dilarang melakukan
perbuatan kejahatan dan keji meskipun statusnya hanyalah suatu bujukan atau
ajakan, karena statusnya juga sama seperti pelaku utama. Hal ini dipertegaskan
lagi dengan dilarang melakukan kejahatan secara bersama-sama sesuai dengan
ketentuan dan hukum yang berlaku. Yang dimaksud dengan bersekutu dalam
pembunuhan di sini tergantung keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika
seseorang terlibat dalam pemukulan terhadap pihak terbunuh, maka ia tergolong
sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan secara pasti. Adapun, jika
seseorang terlibat dalam pemukulan, maka hal ini perlu dicermati lagi. Jika ia
berposisi sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti mencega
pihak yang kehendak dibunuh lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan,
atau menyerahkan pihak terbunuh kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lainnya,
maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pihak yang turut membantu
pembunuhan. Orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi dipenjara saja.
لوتما لأ لعه ا هل
صنعا ء لقتلتهم جمحعا
Artinya: “Adaikan
penduduk Shan’a bersepakat membunuhnya maka saya akan membunuhnya mereka
semuanya”.[5]
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh
satu orang maka yang dihukum pembunuh (Qishash) hanyalah salah seornag saja.
Pendapat ini merupakan Ibnu Zubair, Imam Zuhri dan Jabar.[6]
Seseorang yang mencoba mengambil hak orang lain, baik yang menyangkut
jiwa, harta benda atau kehormatan diri atau keluarganya maka orang yang
melakukannya dapat dihukum dengan hukuman yang sepantasnya untuk menghindari
atau mencegah pelanggaran itu. Akan tetapi adakalanya penyertaan itu melampaui
batas atau berakibat fatal yang hal itu di luar perhitungannya semula, seperti
mengakibatkan luka parah, atau bahkan mengakibatkan terbunuhnya ornag yang
dirampas hak miliknya atau menguasai hak tadi. Dalam hukum pidana positif
penyertaan ini dikenal dengan istilah deelneming
yang merupakan penyertaan baik secara langsung atau tidak karena adanya niat
atau permulaan kejahatan.
Perbuatan penyertaan merupakan tindakan yang dilarang oleh undang-undang,
karena dilakukan oleh seseorang untuk ikut serta, dalam hal kejahatan. Sudah
pasti bahwa undang-undang tidak dapat membenarkan segala bentuk sifat dan cara
melakukan kejahatan. Penyertaan yang dapat dikatakan suatu perbuatan kejahatan
apabila sesuai dengan ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi:
Pasal 55 ayat (1) dan (2)
(1)
Dipidana sebagai pembuat suatu perbuatan pidana:
Ke-1. Mereka melakukan, yang
menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Ke-2. Mereka yang dengan
memberi, atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalah gunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan ancaman atau penyesatan atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
(2)
Terhadap
penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Di pidana
sebagai pembantu (medeplich tige) kejahatan.
Ke-1. Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2. Mereka
yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.[7]
Di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP ditentukan syarat-syarat dimana melakukan
sesuatu delik penyertaan dapat dikatakan kejahatan. Untuk itu undang-undang
menentukan syarat-syarat yang sangat ketat. Jadi penyertaan menurut KUHP
terdiri dari: (1). Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu, (2). Mereka yang dengan memberi, atau menjanjikan
sesuatu, salah memakai kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, paksaan atau
ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan kesempatan, iktihar atau
keterangan, sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Hal ini dapat diartikan bahwa melakukan, menyuruh melakukan atau turut
melakukan, serta memberi atau menjanjikan sesuatu bahwa suatu tindak pidana
atau kejahatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang dengan cara
bersama-sama. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban, deeleming menurut sifatnya.[8]
Sudah sewajarnya bahwa kejahatan terhadap badan, kehormatan kesusilaan
atau harta benda dapat membuat korban menjadi meluap perasaannya, juga apabila
orang lain yang menjadi korbannya. Luapan perasaan ini dapat membuatnya tidak
dapat menilai secara objektif mengenai cara yang tepat untuk mengadapi
kejahatan tersebut. Apabila didorong oleh luapan perasaan yang diakibatkan
dorongan kesempatan atau ajakan itu, perbuatan penyertaan itu menjadi kejahatan
pidana yang benar-benar dijelaskan di dalamnya. Pasal 55 ayat (1) dan (2) KUHP
menyatakan pelakunya dapat dipidana.[9]
Perbuataan penyertaan dapat di pidana hukuman pidana karena undang-undang
memberi hak kepada orang yang melakukan keikut sertaan atau keajakan keikut
sertaan dalam segala bentuk kejahatan. Sifat melawan hukum dari pada peristiwa
yang dilakukan seperti di atas yang menjadi dasar pembenaran adanya pemidanaan.
Sebaliknya dari pada penyertaan yang mengakibatkan adanya sifat melawan hukum
dari perbuatan tersebut, dalam keikut sertaan yang melampaui batas perbuatan
itu tetap melawan hukum. Alasan untuk dapat dipidana ialah keberadaan pihak
kedua baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kejahatan itu. Ini
merupakan alasan untuk dipidananya atas kesalahan yang dilakukan dan bukan
alasan yang menyulitkan.
Pemidanaan harus didasarkan pada hasil pembuktian kesalahan terdakwa
dipengadilan. Namun dalam penyertaan ini tidaklah mudah bagi seorang hakim
untuk dapat membuktikannya, karena hal ini berhubungan dengan psikologis
terdakwa yang mendorong melakukan perbuatan pidana. Untuk itu diperlukan adanya
upaya pembuktian untuk dapat membuktikan seseorang yang benar-benar melakukan
penyertaan, sehingga seorang hakim dapat memberikan keputusan terhindar dari
kesalahan karena tiada hukuman tanpa kesalahan.
Sementara itu, di antara para fuqaha masih ada perbedaan pendapat dalam
masalah penyertaan ini. Pendapat imam Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Orang
pertama adalah peserta yang memberikan bantuan, sebab ia bukan pembuat langsung.
Merekalah yang menimbulkan akibat kematian, kalau salah satunya tidak ada tentu
tidak.[10]
Imam Abu Hanifah menyamakan antara tawafuq dan tamaluk, masing-masing
peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, misalnyan: orang yang
menyuruh anak di bawah umur untuk membunuh orang lain dan si korban mati
karenanya. Dalam peristiwa ini anak dipandang sebagai alat belaka. Akan tetapi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa si penyuruh bukanlah pembuat langsung,
kecuali kalau ia memaksa (Ikroh). Ia
dianggap sebagai turut berbuat tak langsung.[11]
Jadi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang pertanggungjawaban
seseorang yang melakukan perbuatan penyertaan terhadap perbuatan yang
dilakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di samping perbedaan-perbedaan pendapat tentang masalah-masalah di atas,
baik penyertaan menurut hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam masih
diperselisihkan mengenai kedudukan hukumnya apakah merupakan suatu hak atau
kewajiban. Sementara dalam hukum pidana positif mengenai kedudukan hukum
penyertaan mengalami berbagai perubahan, sehingga akibat hukum yang
ditimbulkannya juga berbeda, apakah terlepas dari pertanggungjawaban pidana
sama sekali atau tidak. Di sinilah perlu dikaji sejauh manakah tindakan penyertaan
itu bisa disalahkan atau dapat dijadikan sebagai alasan pemidanaan, bila
penyertaan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengangkat judul:
“Penyertaan dalam Melakukan Perbuatan Pidana Perspektif Hukum Pidana Positif
dan Hukum Pidana Islam”.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar dalam
pembahasan skripsi ini terarah, maka penyusun perlu mengidentifikasikan pokok
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana?
2.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana seseorang yang
melakukan tindakan penyertaan?
3.
Bagaimana membandingkan dan menganalisa konsep deelneming dalam Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan kekurangannya?
1.3.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan
penelitian ini adalah, yaitu :
1.
Untuk mengetahui pandangan Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana.
2.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana seseorang
yang melakukan tindakan penyertaan.
3.
Untuk mengetahui bagaimana membandingkan dan
menganalisa konsep deelneming dalam
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan
kekurangannya.
1.4.
Penjelasan
Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah
yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yaitu:
1.
Penyertaan
2.
Hukum positif, dan
3.
Hukum Islam
Ad.1. Penyertaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata penyertaan di artikan kata “deelneming”, berarti turut
sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak
pidana.[12]
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda deelneming di dalam hukum Pidana deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering
suatu delik dilakukan bersama oleh beberapa orang, jika hanya satu orang yang
melakukan delik, pelakunya disebut Alleen dader. Membaca
rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam
tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana.
Dalam praktik ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam
peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang
lain yang turut serta.
Ad.2. Hukum
Positif
Hukum positif
yang disebut kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.[13]
Ad.3. Hukum Islam
Hukum Islam yang disebut keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib
diturut (ditaati) oleh seorang muslim dan juga sebagai hukum syara' terdiri atas lima komponen yaitu
antara lain wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.[14]
1.5.
Kajian
Pustaka
Pembahasan mengenai masalah penyertaan telah banyak dibahas oleh para
ahli hukum. Pembahasan tentang penyertaan juga dapat dilihat dalam buku-buku
hukum. Di antara buku-buku yang membahas masalah “Pelajaran
Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan
Penyertaa)” yang diterbitkan oleh PT. Raja
Grafindo Persada, di Jakarta pada tahun 2002. Buku yang dikarang oleh Drs.
Adami Chazawi, S.H, buku ini menerangkan mengenai delik-delik percobaan dan
penyertaan menurut hukum pidana positif secara detail dan menyeluruh mencakup
pembagian dan bentuk-bentuk penyertaan.
Penulis juga menemukan buku yang pembahasannya Hukum
Pidana Delik-delik Penyertaan yang diterbitkan oleh Bina Aksara di Jakarta pada tahun 1983.
Buku yang karangan Moeljatno, buku ini merupakan kumpulan kuliah hukum pidana
yang memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai delik-delik penyertaan
mulai dengan pengertian kata penyertaan, batasan-batasan penyertaan hingga
bentuk-bentuk delik penyertaan. Pada buku ini beliau menjelaskan delik-delik
penyertaan menurut hukum pidana positif yang mengacu pada hukum pidana Belanda
dan KUHP.
Buku yang terakhir adalah buku tentang “Hukum Pidana di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan” Penerbit Pustaka Firdaus. Buku ini
merupakan kumpulan artikel. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kejahatan Terhadap Jiwa dalam Prespektif
Hukum Pidana Islam”. Buku dikarang H.M. Abduh Malik. Artikel itu
memaparkan mengenai kejahatan terhadap jiwa menurut hukum pidana Islam. Dalam
artikel itu juga diterangkan mengenai tujuan Syari’at (al-maqasid as-syari’ah) dan
macam-macam pembunuhan serta pendapat fuqaha mengenai sanksi pembunuhan. Buku “Hukum
Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi” dikarang Arun Sakidjo
dan Bambang Poernomo. Penjelasan yang ada dalam buku ini mengenai perbuatan
penyertaan menurut hukum pidana kodifikasi yang ada dalam pasal-pasal KUHP. Dan buku “Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia” karangan
Wirjono Projodikoro. Buku ini menjelaskan mengenai penyertaan mulai dari
rumusan perundang-undangan hingga bentuk penyertaan dan sanksi terhadap pelaku
penyertaan.
Oleh karena itu judul yang penulis angkat untuk skripsi tentang
“Penyertaan Dalam Melakukan Perbuatan Pidana Perspektif Hukum Pidana Positif
Dan Hukum Pidana Islam”. Belum ada yang angkat sebelumnya. Maka hal ini penulis
mengangkat judul skripsi tersebut untuk mengkajinya.
1.6.
Metode
Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian yang
terdiri dari tiga metode yaitu:
1.6.1.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian dalam skripsi ini menggunakan juga penelitian pustaka (library research) yaitu penulis
menggunakan metode deskriptif, analisis dan komperatif.[15] Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang semata-mata berusaha memberikan gambaran atau
mendiskripsikan suatu permasalahan yang dibahas. Penelitian analisis adalah
peneltian yang menganalisa data-data dari semua yang didapati. Komperatif yaitu
dengan mengadakan perbandingan antara hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dengan hukum Islam. Oleh karena itu, haruslah secara seksama guna mencapai kebenaran yang
maksimal dalam pemecahan masalah ini.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam
penulisan skripsi ini adalah dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu menelaah dan
membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas, di dalam al-Qur’an,
al-Hadist, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hubungannya
dengan topik pembahasan skripsi.
1.6.3.
Data
Data dalam skripsi ini dibagi menjadi dua yaitu data
primer dan data sekunder. Data sekunder berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), al-Qur’an dan Hadist. Untuk data sekunder penulis menggunakan, buku karangan Wirjono Projodikoro “Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia” (Bandung: Refika,
1989). Dan buku karangan
Drs. Adami Chazawi, S.H, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan)” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Serta buku
karangan Ahmad Wardi Muslich yang berjudul, Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Beberapa buku tersebut penulis gunakan karena
membahas tentang seluk-beluk yang memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai
delik-delik penyertaan mulai dengan pengertian kata penyertaan, batasan-batasan
penyertaan hingga bentuk-bentuk delik penyertaan. . Data-data tersebut baik data primer maupun sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan
menggunakan metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke
yang khusus.
Dalam penyusunan dan penulisan
skripsi ini, penulis mengambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya yang
diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah Penafsiran Al-Qur’an Kementerian Agama
Republik Indonesia
1995. Akhirnya dalam penulisan dan penyusunan
karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku pedoman karya tulis ilmiah dan
pendoman transliterisasi Arab latin, yang diterbitkan oleh IAIN Ar-Raniry Tahun
2010.
1.7.
Sistematika
Pembahasan
Berdasarkan
permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan
skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab Satu, Pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, Rumusan
masalah, Tujuan penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian pustaka, Metode
penelitian, dan Sistematika pembahasan.
Bab Dua, mengenai
Penyertaan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, berisi tentang Pengertian dan
Dasar Hukum Penyertaan, Syarat-Syarat Kedudukan Hukum Penyertaan, Akibat Hukum
Penyertaan. Yang sekaligus merupakan kerangka untuk mendasari tulisan skripsi
ini.
Bab Tiga, mengenai Perbandingan Antara Penyertaan menurut Hukum Positif
dengan Hukum Islam, berisi tentang pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, Pertanggungjawaban
pidana seseorang yang melakukan tindakan penyertaan, dan Membandingkan dan Menganalisa
konsep deelneming dalam Hukum Pidana
Islam dan Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan kekurangannya
masing-masing sekaligus persamaan dan perbedaannya.
Bab Empat,
merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari
permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an
Anonim, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI & Balai Pustaka. 1990.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2004.
Adami
Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ahmad
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cetakan Ke II, Yogyakarta: Biro
Kemahasiswaan IAIN Sunan Kalijaga, 1966.
Ahmad
Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Garfika, 2005 .
‘Abd
al-Wahab Khalaf, Ibn al-Usul al-Fiqh, Alih
Bahasa Moh. Zuhri, Ahmad Qorib,
Semarang: Dina Utama, 1994.
‘Abd
al-Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam, Alih Bahasa dan Editor: Moh. Tolehah Mansoer dan Noer Iskandar
al-Barsany, Cet. I, Bandung: Risalah, 1983.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
-------------, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya
Bakti. Packer, L. Herbert, 1969, The Limit of Criminal Sanction, California : Stanford
University Press.
Departemen Kehakiman
RI, Naskah Rancangan KUHP,
Buku Kesatu dan Buku
-------------, 1991/1992,
Kedua dan Penjelasannya, Tim Penyusun RUU KUHP Disempurnakan oleh TIM
KECIl sampai dengan 13 Maret 1993.
Departemen Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan,
Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1995.
Djarwanto,
P.S, Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Penulisan Skripsi,
Yogyakarta: Liberty, 1984.
Djazuli,
Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi
Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Marsun, Jinayat
(Hukum Pidana Islam), Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia Press, 1988.
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rasyd Al
Qurtubi, Bidayatu Al Mujtahid, Juz. II,
Bierut: Dar Al Fikr, t.th,
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2003.
Muhadjir,
Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000.
Muhtarom,
Hukum Pidana, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah, 1999.
Sahetapy,
Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty,
1995.
Soekanto,
Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta: UI Press, 1986.
Sudarto,
Hukum Pidana, Semarang: Yayasan
Sudarto, 1990.
Sudaryono, & Surbakti, Natangsa, Buku Pengangan Kuliah Hukum Pidana,
Surakarta: FH-UMS, 2005.
Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertetu Di Indonesia,
Jakarta: Fasco, 1969.
[1]C.S.T.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 82.
[2]‘Abd
al-Wahab Khalaf, Ibn al-Usul al-Fiqh, Alih
Bahasa Moh. Zuhri, Ahmad Qorib,
(Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 310.
[3]‘Abd
al-Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam, Alih Bahasa dan Editor: Moh. Tolehah Mansoer dan Noer Iskandar
al-Barsany, Cet. I, (Bandung: Risalah, 1983), hlm. 137.
[4]Qisah
Surah An-Nisa’ ayat : 16.
[5]Muhammad
Ibn Ahmad Ibn Rasyd Al Qurtubi, Bidayatu
Al Mujtahid, Juz. II, (Bierut: Dar Al Fikr, t.th,), hlm. 299.
[6]Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas-Asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 70.
[7]Moeljatno,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hlm. 25-26.
[8]Ibid., hlm. 59.
[9]Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas-Asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 67.
[10]Ahmad
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet.
V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 213.
[11]Marsum,
Hukum Pidana Islam, hlm. 156.
[12]Sulcan
Yasyin, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Surabaya: Amanah, 1995), hlm. 214.
[13]Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Fasco, 1969),
hlm. 35.
[14]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 61.
[15]Bambang Sunggono, Pengantar
Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar