Laman

Senin, 23 September 2013

PENYERTAAN DALAM MELAKUKAN PERBUATAN PIDANA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF



1.1.  Latar Belakang Masalah

Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran. Golongan dan aliran itu beraneka ragam dan masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam masyarakat.
Salah satu segi dari kehidupan sehari-hari adalah setiap orang harus merasa terlindungi. Agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman tentram dan damai tanpa adanya gangguan, maka bagi setiap manusia perlu adanya suatu tata (ordo=ordnung).[1] Tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman setiap tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Selanjutnya aturan-aturan yang dijadikan pedoman itu lazim dikenal dengan istilah hukum atau tata tertib hukum.
Hukum atau tertib hukum tersebut bukanlah merupakan tujuan melainkan hanya sebagai sarana mencapai suatu tujuan. Hukum yang terjelma melalui produk perundang-udangan harus dapat diuji keadilannya, kemanfaatannya dan kepastiannya untuk mengatur manusia. Hukum merupakan suatu pranata sosial yang primer dalam suatu masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan suatu sarana yang dapat memberikan jaminan rasa aman dan terwujudnya keadilan, yang hal itu akan tercipta jika hukum yang ada dilaksanakan dan diterapkan dengan adil yang sesuai dengan asas-asas yang berlaku.
Dalam Islam, seluruh aktivitas manusia diatur berdasarkan syari’at Allah SWT yang terkandung dalam Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termasuk dalam Al-Qur’an dan Sunnah ini.
Tujuan umum syar’i dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya adalah mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok) dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka (hajiyat) serta kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyat). Setiap hukum syar’i tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu dari tiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kebutuhan manusia.
Sesuatu yang besifat tahsini tidaklah dipelihara apabila dalam pemeliharaannya terdapat kelalaian (perihal melalaikan kewajiban) terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy). Sesuatu yang bersifat kebutuhan dan kebaikan tidaklah dipelihara apabila dalam memelihara salah satunya terdapat kelalaian (perihal melalaikan kewajiban) terhadap yang dharuri.[2] Dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya manusia menjalani kehidupan yang wajar. Pada tempat dan masa tertentu dia bisa mengalami hal-hal yang berada di luar kemampuannya untuk menolak, menghindar dan menguasainya. Maksudnya keadaan yang membahayakan hidupnya, seperti adanya hasutan dan ajakan diri orang lain, dalam keikut sertaannya untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan lainnya dan sebagainya. Dalam hukum Islam hal ini disebut dengan tindak pidana penyertaan atau istilah lainnya keikut sertaan dalam melakukan suatu jarimah. Dalam hal yang demikian itu, yang dengan berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan, Islam menawarkan jalan keluar berupa pemberian pembelajaran dan sanksi pada pelaku kejahatannya dalam suatu tindak pidana.
Pada dasarnya hukum itu diciptakan dan diundangkan, mempunyai tujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan, menghindarkan kemadharatan bagi manusia. Untuk itu hukum wajid dipelihara, supaya pembentukan hukum dapat mengantarkan kepada merealisir kemaslahatan manusia serta menegakan keadilan di antara mereka. Di dalam syari’at Islam terdapat kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan tujuan pembentukan hukum, atau undang-undang yang berbunyi :
د رو المفا سد مقد م عل جلب المصا لع
Artinya: “Menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka”.[3] 
Perbuatan keikut sertaan adalah perbuatan yang dilakukan seseorang untuk melakukan sesuatu kejahatan dalam memperoleh sesuatu hal milik orang lain atas dasar keikut sertaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, demi mendapatkan kehormatan dan harta benda, milik orang yang lain dengan cara yang salah. Keadaan yang berakibat langsung dari adanya perbuatan kejahatan seperti ini biasanya pihak kedua langsung bersama-sama melakukan sesuatu perjanjian dan kesepakatan dalam melakukan aksi kejahatannya. Kondisi jiwa seperti itu dapat seseorang berbuat nekat dalam melakukan kejahatan atau tindak pidana dan berakibat fatal yang merugikan pihak lain.
Dari segi perbuatannya, tindakan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum, karena di samping merugikan orang lain juga tidak dibenarkan dalam aturan agama, karena perbuatan tersebut juga dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dilingkungan masyarakat. Perbuatan keikut sertaan (penyertaan) tersebut dilakukan setelah ia mendapat perintah, ajakan dan bujukan dari pelaku utamanya (deeder) maka terjadi terpidana dari perbuatannya.
Dalam hukum pidana Islam, keikut sertaan dalam melakukan perbuatan kejahatan itu, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain : Penyertaan tersebut harus dilakukan atas kemauannya dan perintah atasannya, artinya seimbang antara kepentingan bagi pihak pertama dan kedua dengan berbagai resiko yang akan dihadapinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Q.S. An Nisa’ ayat 16 sebagai berikut :[4]
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
Artinya : “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An Nisa’ ayat : 16).
Dalam al-Qur’an dan tafsir, dijelasakan bahwa dilarang melakukan perbuatan kejahatan dan keji meskipun statusnya hanyalah suatu bujukan atau ajakan, karena statusnya juga sama seperti pelaku utama. Hal ini dipertegaskan lagi dengan dilarang melakukan kejahatan secara bersama-sama sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Yang dimaksud dengan bersekutu dalam pembunuhan di sini tergantung keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat dalam pemukulan terhadap pihak terbunuh, maka ia tergolong sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan secara pasti. Adapun, jika seseorang terlibat dalam pemukulan, maka hal ini perlu dicermati lagi. Jika ia berposisi sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti mencega pihak yang kehendak dibunuh lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan pihak terbunuh kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lainnya, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pihak yang turut membantu pembunuhan. Orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi dipenjara saja.
لوتما لأ لعه ا هل صنعا ء لقتلتهم جمحعا
 Artinya: “Adaikan penduduk Shan’a bersepakat membunuhnya maka saya akan membunuhnya mereka semuanya”.[5]
Sedangkan menurut Imam Daud Az Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang maka yang dihukum pembunuh (Qishash) hanyalah salah seornag saja. Pendapat ini merupakan Ibnu Zubair, Imam Zuhri dan Jabar.[6]
Seseorang yang mencoba mengambil hak orang lain, baik yang menyangkut jiwa, harta benda atau kehormatan diri atau keluarganya maka orang yang melakukannya dapat dihukum dengan hukuman yang sepantasnya untuk menghindari atau mencegah pelanggaran itu. Akan tetapi adakalanya penyertaan itu melampaui batas atau berakibat fatal yang hal itu di luar perhitungannya semula, seperti mengakibatkan luka parah, atau bahkan mengakibatkan terbunuhnya ornag yang dirampas hak miliknya atau menguasai hak tadi. Dalam hukum pidana positif penyertaan ini dikenal dengan istilah deelneming yang merupakan penyertaan baik secara langsung atau tidak karena adanya niat atau permulaan kejahatan.
Perbuatan penyertaan merupakan tindakan yang dilarang oleh undang-undang, karena dilakukan oleh seseorang untuk ikut serta, dalam hal kejahatan. Sudah pasti bahwa undang-undang tidak dapat membenarkan segala bentuk sifat dan cara melakukan kejahatan. Penyertaan yang dapat dikatakan suatu perbuatan kejahatan apabila sesuai dengan ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
Pasal 55 ayat (1) dan (2)
(1)   Dipidana sebagai pembuat suatu perbuatan pidana:
Ke-1.  Mereka melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Ke-2.   Mereka yang dengan memberi, atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)    Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.



Pasal 56
Di pidana sebagai pembantu (medeplich tige) kejahatan.
Ke-1.   Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2.   Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.[7]
  
Di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP ditentukan syarat-syarat dimana melakukan sesuatu delik penyertaan dapat dikatakan kejahatan. Untuk itu undang-undang menentukan syarat-syarat yang sangat ketat. Jadi penyertaan menurut KUHP terdiri dari: (1). Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu, (2). Mereka yang dengan memberi, atau menjanjikan sesuatu, salah memakai kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, paksaan atau ancaman atau penyesatan atau dengan memberikan kesempatan, iktihar atau keterangan, sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Hal ini dapat diartikan bahwa melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan, serta memberi atau menjanjikan sesuatu bahwa suatu tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang dengan cara bersama-sama. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban, deeleming menurut sifatnya.[8] 
Sudah sewajarnya bahwa kejahatan terhadap badan, kehormatan kesusilaan atau harta benda dapat membuat korban menjadi meluap perasaannya, juga apabila orang lain yang menjadi korbannya. Luapan perasaan ini dapat membuatnya tidak dapat menilai secara objektif mengenai cara yang tepat untuk mengadapi kejahatan tersebut. Apabila didorong oleh luapan perasaan yang diakibatkan dorongan kesempatan atau ajakan itu, perbuatan penyertaan itu menjadi kejahatan pidana yang benar-benar dijelaskan di dalamnya. Pasal 55 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan pelakunya dapat dipidana.[9]
Perbuataan penyertaan dapat di pidana hukuman pidana karena undang-undang memberi hak kepada orang yang melakukan keikut sertaan atau keajakan keikut sertaan dalam segala bentuk kejahatan. Sifat melawan hukum dari pada peristiwa yang dilakukan seperti di atas yang menjadi dasar pembenaran adanya pemidanaan. Sebaliknya dari pada penyertaan yang mengakibatkan adanya sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, dalam keikut sertaan yang melampaui batas perbuatan itu tetap melawan hukum. Alasan untuk dapat dipidana ialah keberadaan pihak kedua baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kejahatan itu. Ini merupakan alasan untuk dipidananya atas kesalahan yang dilakukan dan bukan alasan yang menyulitkan.
Pemidanaan harus didasarkan pada hasil pembuktian kesalahan terdakwa dipengadilan. Namun dalam penyertaan ini tidaklah mudah bagi seorang hakim untuk dapat membuktikannya, karena hal ini berhubungan dengan psikologis terdakwa yang mendorong melakukan perbuatan pidana. Untuk itu diperlukan adanya upaya pembuktian untuk dapat membuktikan seseorang yang benar-benar melakukan penyertaan, sehingga seorang hakim dapat memberikan keputusan terhindar dari kesalahan karena tiada hukuman tanpa kesalahan.
Sementara itu, di antara para fuqaha masih ada perbedaan pendapat dalam masalah penyertaan ini. Pendapat imam Hanafi dan Syafi’i mengatakan: Orang pertama adalah peserta yang memberikan bantuan, sebab ia bukan pembuat langsung. Merekalah yang menimbulkan akibat kematian, kalau salah satunya tidak ada tentu tidak.[10]
Imam Abu Hanifah menyamakan antara tawafuq dan tamaluk, masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, misalnyan: orang yang menyuruh anak di bawah umur untuk membunuh orang lain dan si korban mati karenanya. Dalam peristiwa ini anak dipandang sebagai alat belaka. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa si penyuruh bukanlah pembuat langsung, kecuali kalau ia memaksa (Ikroh). Ia dianggap sebagai turut berbuat tak langsung.[11] Jadi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang pertanggungjawaban seseorang yang melakukan perbuatan penyertaan terhadap perbuatan yang dilakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di samping perbedaan-perbedaan pendapat tentang masalah-masalah di atas, baik penyertaan menurut hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam masih diperselisihkan mengenai kedudukan hukumnya apakah merupakan suatu hak atau kewajiban. Sementara dalam hukum pidana positif mengenai kedudukan hukum penyertaan mengalami berbagai perubahan, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya juga berbeda, apakah terlepas dari pertanggungjawaban pidana sama sekali atau tidak. Di sinilah perlu dikaji sejauh manakah tindakan penyertaan itu bisa disalahkan atau dapat dijadikan sebagai alasan pemidanaan, bila penyertaan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengangkat judul: “Penyertaan dalam Melakukan Perbuatan Pidana Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam”.

1.2.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar dalam pembahasan skripsi ini terarah, maka penyusun perlu mengidentifikasikan pokok masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana?
2.      Bagaimana pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan tindakan penyertaan?
3.      Bagaimana membandingkan dan menganalisa konsep deelneming dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan kekurangannya?

1.3.  Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah, yaitu :

1.      Untuk mengetahui pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana.
2.      Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan tindakan penyertaan.
3.      Untuk mengetahui bagaimana membandingkan dan menganalisa konsep deelneming dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan kekurangannya.

1.4.  Penjelasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yaitu:
1.      Penyertaan
2.      Hukum positif, dan
3.      Hukum Islam
Ad.1. Penyertaan
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata penyertaan di artikan kata “deelneming”, berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.[12] Penyertaan atau dalam bahasa Belanda deelneming di dalam hukum Pidana deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oleh beberapa orang, jika hanya satu orang yang melakukan delik, pelakunya disebut Alleen dader. Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Dalam praktik ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.

Ad.2. Hukum Positif
Hukum positif yang disebut kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.[13]
Ad.3. Hukum Islam
Hukum Islam yang disebut keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim dan juga sebagai hukum syara' terdiri atas lima komponen yaitu antara lain wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.[14]

1.5.  Kajian Pustaka

Pembahasan mengenai masalah penyertaan telah banyak dibahas oleh para ahli hukum. Pembahasan tentang penyertaan juga dapat dilihat dalam buku-buku hukum. Di antara buku-buku yang membahas masalah “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaa)” yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada, di Jakarta pada tahun 2002. Buku yang dikarang oleh Drs. Adami Chazawi, S.H, buku ini menerangkan mengenai delik-delik percobaan dan penyertaan menurut hukum pidana positif secara detail dan menyeluruh mencakup pembagian dan bentuk-bentuk penyertaan.
Penulis juga menemukan buku yang pembahasannya Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan yang diterbitkan oleh Bina Aksara di Jakarta pada tahun 1983. Buku yang karangan Moeljatno, buku ini merupakan kumpulan kuliah hukum pidana yang memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai delik-delik penyertaan mulai dengan pengertian kata penyertaan, batasan-batasan penyertaan hingga bentuk-bentuk delik penyertaan. Pada buku ini beliau menjelaskan delik-delik penyertaan menurut hukum pidana positif yang mengacu pada hukum pidana Belanda dan KUHP.
Buku yang terakhir adalah buku tentang “Hukum Pidana di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan Penerbit Pustaka Firdaus. Buku ini merupakan kumpulan artikel. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kejahatan Terhadap Jiwa dalam Prespektif Hukum Pidana Islam”. Buku dikarang H.M. Abduh Malik. Artikel itu memaparkan mengenai kejahatan terhadap jiwa menurut hukum pidana Islam. Dalam artikel itu juga diterangkan mengenai tujuan Syari’at (al-maqasid as-syari’ah) dan macam-macam pembunuhan serta pendapat fuqaha mengenai sanksi pembunuhan. Buku “Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi” dikarang Arun Sakidjo dan Bambang Poernomo. Penjelasan yang ada dalam buku ini mengenai perbuatan penyertaan menurut hukum pidana kodifikasi yang ada dalam pasal-pasal KUHP. Dan buku “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia karangan Wirjono Projodikoro. Buku ini menjelaskan mengenai penyertaan mulai dari rumusan perundang-undangan hingga bentuk penyertaan dan sanksi terhadap pelaku penyertaan.
Oleh karena itu judul yang penulis angkat untuk skripsi tentang “Penyertaan Dalam Melakukan Perbuatan Pidana Perspektif Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam”. Belum ada yang angkat sebelumnya. Maka hal ini penulis mengangkat judul skripsi tersebut untuk mengkajinya.

1.6.  Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian yang terdiri dari tiga metode yaitu:
1.6.1.      Jenis Penelitian
 Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan juga penelitian pustaka (library research) yaitu penulis menggunakan metode deskriptif, analisis dan komperatif.[15] Penelitian deskriptif adalah penelitian yang semata-mata berusaha memberikan gambaran atau mendiskripsikan suatu permasalahan yang dibahas. Penelitian analisis adalah peneltian yang menganalisa data-data dari semua yang didapati. Komperatif yaitu dengan mengadakan perbandingan antara hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukum Islam. Oleh karena itu, haruslah secara seksama guna mencapai kebenaran yang maksimal dalam pemecahan masalah ini.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
            Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu menelaah dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas, di dalam al-Qur’an, al-Hadist, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hubungannya dengan topik pembahasan skripsi.
1.6.3.      Data
Data dalam skripsi ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), al-Qur’an dan Hadist. Untuk data sekunder penulis menggunakan, buku karangan Wirjono Projodikoro “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia” (Bandung: Refika, 1989).  Dan buku karangan Drs. Adami Chazawi, S.H, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan)” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Serta buku karangan Ahmad Wardi Muslich yang berjudul, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Beberapa buku tersebut penulis gunakan karena membahas tentang seluk-beluk yang memberikan penjelasan yang sangat rinci mengenai delik-delik penyertaan mulai dengan pengertian kata penyertaan, batasan-batasan penyertaan hingga bentuk-bentuk delik penyertaan. . Data-data tersebut baik data primer maupun sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.
      Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mengambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah Penafsiran Al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia 1995. Akhirnya dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku pedoman karya tulis ilmiah dan pendoman transliterisasi Arab latin, yang diterbitkan oleh IAIN Ar-Raniry Tahun 2010.

1.7.  Sistematika Pembahasan

            Berdasarkan permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab Satu, Pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian pustaka, Metode penelitian, dan Sistematika pembahasan.
            Bab Dua, mengenai Penyertaan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, berisi tentang Pengertian dan Dasar Hukum Penyertaan, Syarat-Syarat Kedudukan Hukum Penyertaan, Akibat Hukum Penyertaan. Yang sekaligus merupakan kerangka untuk mendasari tulisan skripsi ini.
Bab Tiga, mengenai Perbandingan Antara Penyertaan menurut Hukum Positif dengan Hukum Islam, berisi tentang pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan tindakan penyertaan, dan Membandingkan dan Menganalisa konsep deelneming dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif dengan mengungkap kelebihan dan kekurangannya masing-masing sekaligus persamaan dan perbedaannya.
            Bab Empat, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

 Al-Qur’an
Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI & Balai Pustaka. 1990.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cetakan Ke II, Yogyakarta: Biro Kemahasiswaan IAIN Sunan Kalijaga, 1966.

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Garfika, 2005 .

‘Abd al-Wahab Khalaf, Ibn al-Usul al-Fiqh, Alih Bahasa  Moh. Zuhri, Ahmad Qorib, Semarang: Dina Utama, 1994.

‘Abd al-Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Alih Bahasa dan Editor: Moh. Tolehah Mansoer dan Noer Iskandar al-Barsany, Cet. I, Bandung: Risalah, 1983.

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
-------------, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. Packer, L. Herbert, 1969, The Limit of Criminal Sanction, California: Stanford University Press.

Departemen Kehakiman RI, Naskah Rancangan KUHP, Buku Kesatu dan Buku
-------------, 1991/1992, Kedua dan Penjelasannya, Tim Penyusun RUU KUHP Disempurnakan oleh TIM KECIl sampai dengan 13 Maret 1993.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1995.

Djarwanto, P.S, Pokok-Pokok Metode Riset dan Bimbingan Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Marsun, Jinayat (Hukum Pidana Islam), Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1988.

Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rasyd Al Qurtubi, Bidayatu Al Mujtahid, Juz. II, Bierut: Dar Al Fikr, t.th,

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003.

Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Muhtarom, Hukum Pidana, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1999.
Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
Sudaryono, & Surbakti, Natangsa, Buku Pengangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: FH-UMS, 2005.

Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertetu Di Indonesia, Jakarta: Fasco, 1969.



        






[1]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 82.
[2]‘Abd al-Wahab Khalaf, Ibn al-Usul al-Fiqh, Alih Bahasa  Moh. Zuhri, Ahmad Qorib, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 310.
[3]‘Abd al-Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Alih Bahasa dan Editor: Moh. Tolehah Mansoer dan Noer Iskandar al-Barsany, Cet. I, (Bandung: Risalah, 1983), hlm. 137.
[4]Qisah Surah An-Nisa’ ayat : 16.
[5]Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rasyd Al Qurtubi, Bidayatu Al Mujtahid, Juz. II, (Bierut: Dar Al Fikr, t.th,), hlm. 299.
[6]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 70.
[7]Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), hlm. 25-26.

[8]Ibid., hlm. 59. 
[9]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 67.
[10]Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 213.

[11]Marsum, Hukum Pidana Islam, hlm. 156.
[12]Sulcan Yasyin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1995), hlm. 214.
    [13]Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Fasco, 1969), hlm. 35.

[14]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 61.
[15]Bambang Sunggono, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar