Laman

Senin, 23 September 2013



NIKAH SIRRI MENURUT KONSEP SADD ADZ-DZARI’AH


1.1.  Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya pernikahan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Saat ini terdapat banyak bentuk pernikahan dalam masyarakat seperti pernikahan kontrak dan nikah sirri.[1] Nikah sirri adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam hukum Islam, namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pernikahan ada rukun-rukun yang harus dilaksanakan agar dapat dinyatakan sah, yaitu sebagai berikut:
a.       Adanya seorang laki-laki sebagai mempelai pria;
b.      Adanya seorang perempuan sebagai mempelai wanita;
c.       Wali yang Adil;  dan
d.      Adanya Ijab Qabul.
Dalam nikah sirri, semua rukun dan syarat pernikahan yang diatur dalam Islam terpenuhi, kecuali syarat pernikahan yang diatur oleh aturan negara yaitu pencacatan perkawinan.
Syarat pernikahan yang terpenuhi dalam nikah sirri adalah adanya kedua calon mempelai, adanya ridha dari kedua mempelai (dalam hal ini tidak ada unsur paksaan), adanya wali, dua orang laki-laki muslim yang mukallaf sebagai saksi, dan kedua mempelai tanpa cacat yang bisa menghalangi pernikahan. Dalam nikah juga terdapat akad nikah sebagaimana ketentuan syariat Islam yaitu ijab dan qabul. Demikian juga dengan pembayaran maharnya, semua syarat pernikahan tersebut terdapat dalam nikah sirri, sehingga menurut tuntutan agama nikah sirri tersebut adalah pernikahan yang sah.[2] Namun dengan demikian, nikah sirri tidak boleh dilakukan sesuka hati tanpa mengindahkan ketentuan hukum negara.
Di antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara sirri itu adalah Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka ia berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan saksi. Nikah  sirri dikenal juga dengan nikah bawah tangan dalam khasanah hukum Islam, Konteks nikah semacam ini mendekati istilah nikah misy'ar kontrak perkawinan di mana pasangan dapat hidup secara terpisah tetapi bersama-sama secara teratur, sering untuk hubungan seksual.[3]

Pelarangan nikah sirri oleh hukum negara disebabkan karena nikah sirri tersebut, tidak memiliki dokumen resmi yang menjadi dasar untuk melakukan perbuatan hukum. Dampak yang sangat fatal di antaranya adalah:
a.       Jika suatu saat terjadi persengketaan dalam pernikahan, pihak perempuan akan sangat dirugikan karena tidak dapat menuntut haknya serta tidak akan mendapatkan warisan apapun ketika suami telah meninggal dunia.
b.      Dalam pernikahan sirri, pihak perempuan rentan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak ada hukum yang mampu mengikat kewajiban suami terhadap istri.
c.       Tidak ada surat nikah sehingga masyarakat akan meragukan pernikahan mereka dan dianggap sebagai pasangan kumpul kebo (berzina).
d.      Permasalahan utama akan muncul ketika pasangan nikah sirri memiliki anak. Anak dalam pernikahan sirri ini akan kesulitan memiliki surat-surat identitas kelahirannya dan akan kesulitan ketika memerlukan dokumen-dokumen resmi tentang dirinya.
 Akan tetapi bilamana nikah sirri sudah dilakukan, maka dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Adapun itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam:
a.       Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.      Hilangnya akta nikah;
c.       Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.      Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan;
e.       Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[4]
Terhadap hal-hal tersebut di atas, maka untuk mendapatkan kepastian hukum perlu dilakukan perkawinan ulang menurut ketentuan agama yang dianut. Setelah perkawinan dilaksanakan harus dicatatkan diadapan pejabat yang berwenang. Bagi yang beragama Islam oleh pegawai kantor urusan agama sedangkan bagi yang beragama Islam oleh pegawai kantor catatan sipil, seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[5] Akan tetapi bila perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Selain itu yang penting juga untuk diketahui bahwa dalam hukum Islam dikenal istilah “sadd adz-dzari’ah”. Artinya mencegah sesuatu yang dikhawatirkan nantinya akan berakibat buruk. Karena itu ketika muncul trend qiyamullail, dikeluarkan fatwa yang meminta agar aktifitas itu tidak perlu dihidup-hidupkan.
Sadd adz-dzari’ah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.[6]
Dalam kajian ushul fiqh, sadd adz-dzari’ah adalah perkataan atau perbuatan yang menjadi media terwujudnya perkataan atau perbuatan lain. Para fuqaha’ membatasi perkataan atau perbuatan sebagai akibat dari media tersebut kepada perkataan atau perbuatan yang terlarang. Sadd adz-dzari’ah didefenisikan sebagai yaitu menghambat atau menyumbat sesuatu yang menjadi perantara. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat  jalan sarana yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.
Maka tujuan dari penetapan sadd adz-dzari’ah ini ialah untuk menuju kemaslahatan.[7] Hal ini sesuai dengan tujuan umum ditetapkan hukum pada mukalaf adalah untuk kemaslahatan mereka dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan itu adakalanya syari’at melarang atau memerintahkan sesuatu. Dalam memenuhi perintah atau larangan ada yang dapat dilakukan secara langsung, dan adakalanya dengan sarana. Oleh karena itu, kasus nikah sirri atau pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan sirri atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya dan adakalanya sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan yang harus dilaluinya.
Memang tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan sadd adz-dzari’ah.[8] Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan faktor pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudharat atau baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd adz-dzari’ah adalah kehati-hatian seperti dalam kaedah-kaedah sadd adz-dzari’ah, salah satunya adalah:
د ر أَ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan”

Kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidak kesesuaian dengan apa yang di syari’atkan) dan yang lain, sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah. Dalam beramal ketika menghadapi pembenturan antara maslahat dan mafsadat, bila maslahat yang dominan maka boleh dilakukan dan bila mafsadat yang dominan maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, karena menolak kerusakan lebih utama ketimbang mengambil kemaslahatan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam hal ini penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian ilmiah yang berjudul: “NIKAH  SIRRI MENURUT KONSEP SADD ADZ-DZARI’AH ”.

1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diuraikan tersebut di atas, maka penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1.      Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri?
2.      Bagaimanakah dampak yuridis dan sosiologis dari nikah sirri?
3.      Bagaimanakah tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri?

1.3.  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah, yaitu :
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri.
2.      Untuk mengetahui dampak yuridis dan sosiologis dari nikah sirri.
3.      Untuk mengetahui tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri.


1.4.  Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yaitu:
1.      Nikah sirri
2.      Sadd adz-dzari’ah

Ad. 1.  Nikah sirri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[9] pernikahan diartikan sama dengan perkawinan yang menurut bahasa aslinya “Kawin” yang bermakna membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[10] Sedangkan berdasarkan pengertian dalam kajian Islam, kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengumpulkan, saling memasukkan (dalam artian bersetubuh). Kata ini juga untuk menyebut perjanjian nikah (akad nikah). Kembali ke definisi nikah sirri, seperti dikemukakan oleh beberapa pakar tentang pengertian nikah model ini. Dalam buku beberapa masalah tentang Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan atau nikah sirri adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia, memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak mendaftarkannya pada pegawai pencatat nikah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam terminologi Islam, nikah di bawah tangan yang disingkat KBT (Kawin Bawah Tangan) lazim disebut nikah sirri, berasal dari bahasa Arab, “Sirrun” (gelap tersembunyi). Berarti kawin sirri adalah perkawinan secara sembunyi. Hakikat kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan tanpa dicatatkan.[11] jadi, istilah kawin sirri adalah istilah yang berkembang di Indonesia saja yang bermakna pernikahan tanpa tercatat di KUA.

Ad. 2.  Sadd adz-dzari’ah
Kata “saddu” menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-dzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada tujuan/ kerusakan”. Seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, “sadd adz-dzari’ah” berarti menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[12]

1.5.  Kajian Pustaka
Dalam penulisan pembahasan skripsi ini penulis ingin meneliti tentang nikah sirri dalam kajian sadd adz-dzari’ah yang mana judul tersebut hampir sama dengan judul skripsi Yusniar yang membahas tentang Kepastian Hukum terhadap Anak yang Lahir dari Perkawinan Sirri, yang mengkaji kepastian hukum menurut Fatwa Ulama Aceh terhadap anak yang lahir dari nikah sirri dan solusi dalam mengatasi akibat terhadap anak yang lahir dari nikah sirri tersebut. Pembahasan ini juga mendekati dengan dampak nikah sirri judul skripsi Zahrul Fuadi yang membahas tentang Nikah Sirri dan Implikasi terhadap Perlindungan Perempuan dan Anak, yang mengkaji bagaimana kedudukan anak dan istri setelah perceraian dalam pernikahan sirri serta akibat negatif dari pernikahan sirri dan proses penyelesaian sengketa hak anak dan istri setelah perceraian dari pernikahan sirri. Sedangkan yang penulis ingin teliti berbeda dengan judul yang telah dibahas di atas, yaitu ingin meneliti tentang apa saja dampak akibat terjadi perkawinan nikah sirri.

1.6.  Metode Penelitian
Pada dasarnya dalam penulisan suatu karya ilmiah, metode yang digunakan sangat menentukan untuk memperoleh hasil yang objektif dan tepat. Adapaun metode yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan membantu deskripsi, gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang haruslah secara sesama guna mencapai kebenaran yang maksimal dalam pemecahan masalah ini.
Dalam pengumpulan data, penulis melakukan studi kepustakaan (library research) yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku yang berkaitan  dengan topik yang dibahas, di dalam al-Qur’an, dan al-Hadist, yang ada hubungannya dengan topik pembahasan skripsi. Bahan-bahan hukum baik bahan primer bahkan bahan hukum sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Untuk terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil dari yang diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah Penafsiran al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia 1995.
Dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku Pedoman Karya Tulis Ilmiah dan Pendoman Transliterisasi Arab Latin, yang diterbitkan oleh IAIN Ar-Raniry Tahun 2010.


1.7.  Sistematikan Pembahasan
Berdasarkan permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab satu, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
            Bab dua, mengenai landasan teoritis terhadap sadd adz-dzari’ah, yang berisi teori dan pengertian dan legalitas sadd adz-dzari’ah, kedudukan dan dasar hukum sadd adz-dzari’ah, macam-macam sadd adz-dzari’ah, bentuk-bentuk sadd adz-dzari’ah, konsep dan pengelompokan sadd adz-dzari’ah, dan pandangan ulama terhadap sadd adz-dzari’ah.
           Bab tiga, mengenai nikah sirri menurut konsep sadd adz-dzari’ah, berisi tentang tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri, pengertian nikah sirri, nikah sirri dalam kajian fiqih, dampak yuridis dan sosiologis dari nikah  sirri, terhadap istri dan anak, bagi suami, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri, dan aplikasi konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri.
         Bab empat, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.
























[1]Aris Sugianto, Nikah Di bawah Tangan, (Bandung: Qultum Media, 2005), hlm. 576.


[2]Abdul Karîm Zaidan, al Wajîz fî Ushûl al Fiqh, (Beirut: Muassasah ar Risâlah, 1996), cet 5, hlm. 245-246.
[3]Yusuf al-Qardhawi. Zawaj al Misyar, (terj. Haqiqotuhu wa Hukmuhu), (Kairo: Maktab Wahbah, 1999), hlm. 355.

[4]Pasal  7 ayat  (3) Kompilasi Hukum Islam.

[5]Muhammad Amin Suma, Himpunan UU Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Untuk Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). hlm. 329.


[6]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hlm. 295.

[7]Djazuli, H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, Perkembangan, Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.164.

[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana 2008). hlm. 405.

[9]Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 30.

[10]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1989), Cet.3, hlm. 29.
[11]Republika, Mereduksi Fenomena Kawin Di bawah Tangan, (Jakarta: Republika Edisi, 1995), hlm. 6

[12]Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,  2005), hlm. 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar