NIKAH SIRRI MENURUT KONSEP SADD
ADZ-DZARI’AH
1.1. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah suatu hal
yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya pernikahan,
rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata
kehidupan masyarakat.
Saat ini terdapat banyak
bentuk pernikahan dalam masyarakat seperti pernikahan kontrak dan nikah sirri.[1]
Nikah sirri adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan
dalam hukum Islam, namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pernikahan ada
rukun-rukun yang harus dilaksanakan agar dapat dinyatakan sah, yaitu sebagai berikut:
a. Adanya seorang laki-laki sebagai mempelai
pria;
b. Adanya seorang perempuan sebagai mempelai
wanita;
c. Wali yang Adil; dan
d. Adanya Ijab Qabul.
Dalam nikah sirri, semua rukun
dan syarat pernikahan yang diatur dalam Islam terpenuhi, kecuali syarat
pernikahan yang diatur oleh aturan negara yaitu pencacatan perkawinan.
Syarat pernikahan yang
terpenuhi dalam nikah sirri adalah adanya kedua calon mempelai, adanya ridha
dari kedua mempelai (dalam hal ini tidak ada unsur paksaan), adanya wali, dua
orang laki-laki muslim yang mukallaf sebagai saksi, dan kedua mempelai tanpa
cacat yang bisa menghalangi pernikahan. Dalam nikah juga terdapat akad nikah
sebagaimana ketentuan syariat Islam yaitu ijab dan qabul. Demikian juga dengan
pembayaran maharnya, semua syarat pernikahan tersebut terdapat dalam nikah sirri,
sehingga menurut tuntutan agama nikah sirri tersebut adalah pernikahan yang
sah.[2] Namun dengan demikian, nikah sirri tidak boleh dilakukan sesuka hati tanpa
mengindahkan ketentuan hukum negara.
Di
antara ulama terkemuka yang membolehkan pernikahan dengan cara sirri itu adalah
Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar Muslim kontemporer terkemuka ia
berpendapat bahwa nikah ini adalah nikah syar`i (sah) selama ada ijab-qabul dan
saksi. Nikah
sirri dikenal juga dengan nikah bawah tangan dalam khasanah hukum Islam,
Konteks nikah semacam ini mendekati istilah nikah misy'ar kontrak perkawinan di mana
pasangan dapat hidup secara terpisah tetapi bersama-sama secara teratur, sering
untuk hubungan seksual.[3]
Pelarangan nikah sirri oleh
hukum negara disebabkan karena nikah sirri tersebut, tidak memiliki dokumen
resmi yang menjadi dasar untuk melakukan perbuatan hukum. Dampak yang sangat
fatal di antaranya adalah:
a. Jika suatu saat terjadi persengketaan
dalam pernikahan, pihak perempuan akan sangat dirugikan karena tidak dapat
menuntut haknya serta tidak akan mendapatkan warisan apapun ketika suami telah
meninggal dunia.
b. Dalam pernikahan sirri, pihak perempuan
rentan terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak ada hukum
yang mampu mengikat kewajiban suami terhadap istri.
c. Tidak ada surat nikah sehingga masyarakat
akan meragukan pernikahan mereka dan dianggap sebagai pasangan kumpul kebo
(berzina).
d. Permasalahan utama akan muncul ketika
pasangan nikah sirri memiliki anak. Anak dalam pernikahan sirri ini akan
kesulitan memiliki surat-surat identitas kelahirannya dan akan kesulitan ketika
memerlukan dokumen-dokumen resmi tentang dirinya.
Akan tetapi bilamana nikah sirri sudah
dilakukan, maka dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Adapun
itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam:
a. Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian;
b.
Hilangnya akta nikah;
c.
Adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.
Adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[4]
Terhadap hal-hal tersebut di
atas, maka untuk mendapatkan kepastian hukum perlu dilakukan perkawinan ulang
menurut ketentuan agama yang dianut. Setelah perkawinan dilaksanakan harus
dicatatkan diadapan pejabat yang berwenang. Bagi yang beragama Islam oleh
pegawai kantor urusan agama sedangkan bagi yang beragama Islam oleh pegawai
kantor catatan sipil, seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Perkawinan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.[5] Akan tetapi bila perkawinan tersebut
tidak dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Selain itu yang penting juga untuk diketahui bahwa dalam hukum
Islam dikenal istilah “sadd
adz-dzari’ah”. Artinya mencegah
sesuatu yang dikhawatirkan nantinya akan berakibat buruk. Karena itu ketika
muncul trend qiyamullail, dikeluarkan fatwa yang meminta agar aktifitas itu
tidak perlu dihidup-hidupkan.
Sadd adz-dzari’ah suatu
perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik,
sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang
betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan
menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang
hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan
demi kepentingan kelompok dan pribadinya.[6]
Dalam kajian ushul fiqh, sadd
adz-dzari’ah adalah perkataan
atau perbuatan yang menjadi media terwujudnya perkataan atau perbuatan lain.
Para fuqaha’ membatasi perkataan atau perbuatan sebagai akibat dari media
tersebut kepada perkataan atau perbuatan yang terlarang. Sadd adz-dzari’ah didefenisikan sebagai yaitu menghambat
atau menyumbat sesuatu yang menjadi perantara. Sedangkan menurut para ahli
ushul fiqh adalah mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik
untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan sarana yang dapat menyampaikan
seseorang pada kerusakan.
Maka tujuan dari penetapan sadd adz-dzari’ah ini ialah untuk menuju kemaslahatan.[7]
Hal ini sesuai dengan tujuan umum ditetapkan hukum pada mukalaf adalah untuk
kemaslahatan mereka dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan itu
adakalanya syari’at melarang atau memerintahkan sesuatu. Dalam memenuhi
perintah atau larangan ada yang dapat dilakukan secara langsung, dan adakalanya
dengan sarana. Oleh karena itu, kasus nikah sirri atau pernikahan yang
dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti karena takut
mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan sirri atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya dan adakalanya sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju
itu ada serentetan yang harus dilaluinya.
Memang tidak ada dalil yang
jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulama tentang boleh atau
tidaknya menggunakan sadd
adz-dzari’ah.[8]
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan faktor pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudharat atau baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd adz-dzari’ah adalah kehati-hatian seperti dalam
kaedah-kaedah sadd adz-dzari’ah,
salah satunya adalah:
د ر أَ المفاسد مقدم
على جلب المصالح
“Menolak kerusakan diutamakan
ketimbang mengambil kemaslahatan”
Kaidah al-hiyal (rekayasa
hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf
(menghindarkan ketidak kesesuaian dengan apa yang di syari’atkan) dan yang
lain, sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan
maslahah dan menghindarkan mafsadah. Dalam beramal ketika menghadapi pembenturan antara maslahat dan mafsadat, bila
maslahat yang dominan maka boleh dilakukan dan bila mafsadat yang dominan maka
harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga
kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, karena menolak kerusakan
lebih utama ketimbang mengambil kemaslahatan.
Berdasarkan uraian di atas,
dalam hal ini penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian ilmiah yang
berjudul: “NIKAH SIRRI MENURUT KONSEP SADD ADZ-DZARI’AH ”.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar
belakang diuraikan tersebut di atas, maka penulis mempunyai beberapa rumusan
masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam penulisan skripsi
ini, yaitu:
1. Faktor-faktor
apa saja yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri?
2. Bagaimanakah dampak yuridis dan sosiologis
dari nikah sirri?
3. Bagaimanakah tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah, yaitu
:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri.
2. Untuk mengetahui dampak yuridis dan
sosiologis dari nikah sirri.
3. Untuk mengetahui tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah terhadap nikah sirri.
1.4.
Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah yang terdapat dalam judul skripsi
ini. Adapun istilah tersebut yaitu:
1. Nikah sirri
2. Sadd adz-dzari’ah
Ad. 1. Nikah
sirri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[9]
pernikahan diartikan sama dengan perkawinan yang menurut bahasa aslinya “Kawin” yang bermakna membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[10]
Sedangkan berdasarkan pengertian dalam kajian Islam, kata nikah berasal dari
bahasa Arab yang berarti mengumpulkan, saling memasukkan (dalam artian
bersetubuh). Kata ini juga untuk menyebut perjanjian nikah (akad nikah).
Kembali ke definisi nikah sirri, seperti dikemukakan oleh beberapa pakar
tentang pengertian nikah model ini. Dalam buku beberapa masalah tentang Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan perkawinan atau nikah sirri adalah suatu perkawinan
yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia, memenuhi syarat dan rukunnya tetapi
tidak mendaftarkannya pada pegawai pencatat nikah seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam terminologi Islam, nikah
di bawah tangan yang disingkat KBT (Kawin
Bawah Tangan) lazim disebut nikah sirri, berasal dari bahasa Arab, “Sirrun”
(gelap tersembunyi). Berarti kawin
sirri adalah perkawinan secara sembunyi. Hakikat kawin sirri adalah perkawinan
yang dilakukan tanpa dicatatkan.[11]
jadi, istilah kawin sirri adalah istilah yang berkembang di Indonesia saja yang
bermakna pernikahan tanpa tercatat di KUA.
Ad. 2. Sadd
adz-dzari’ah
Kata “saddu” menurut bahasa berarti
“menutup”, dan kata adz-dzari’ah berarti
“wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara
bahasa berarti “menutup jalan kepada
tujuan/ kerusakan”. Seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, “sadd adz-dzari’ah” berarti menutup
jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[12]
1.5.
Kajian Pustaka
Dalam penulisan pembahasan skripsi ini penulis ingin
meneliti tentang nikah sirri dalam kajian sadd adz-dzari’ah yang mana judul tersebut hampir sama dengan judul skripsi Yusniar yang
membahas tentang Kepastian Hukum terhadap
Anak yang Lahir dari Perkawinan Sirri, yang mengkaji kepastian hukum
menurut Fatwa Ulama Aceh terhadap anak yang lahir dari nikah sirri dan solusi
dalam mengatasi akibat terhadap anak yang lahir dari nikah sirri tersebut.
Pembahasan ini juga mendekati dengan dampak nikah sirri judul skripsi Zahrul
Fuadi yang membahas tentang Nikah Sirri dan
Implikasi terhadap Perlindungan Perempuan dan Anak, yang mengkaji bagaimana
kedudukan anak dan istri setelah perceraian dalam pernikahan sirri serta akibat
negatif dari pernikahan sirri dan proses penyelesaian sengketa hak anak dan
istri setelah perceraian dari pernikahan sirri. Sedangkan yang penulis ingin
teliti berbeda dengan judul yang telah dibahas di atas, yaitu ingin meneliti
tentang apa saja dampak akibat terjadi perkawinan nikah sirri.
1.6.
Metode Penelitian
Pada dasarnya dalam penulisan suatu karya ilmiah, metode
yang digunakan sangat menentukan untuk memperoleh hasil yang objektif dan
tepat. Adapaun metode yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
metode deskriptif analisis yaitu
suatu metode yang bertujuan membantu deskripsi, gambaran atau tulisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antara fenomena yang haruslah secara sesama guna mencapai kebenaran yang
maksimal dalam pemecahan masalah ini.
Dalam
pengumpulan data, penulis melakukan studi kepustakaan (library research)
yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas, di dalam
al-Qur’an, dan al-Hadist, yang ada hubungannya dengan topik pembahasan skripsi.
Bahan-bahan hukum baik bahan primer
bahkan bahan hukum sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan
menggunakan metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke
yang khusus. Untuk terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dalam penulisan skripsi ini,
penulis mengambil dari yang diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah Penafsiran al-Qur’an Kementerian Agama Republik
Indonesia 1995.
Dalam penulisan dan penyusunan
karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku Pedoman Karya Tulis Ilmiah dan Pendoman Transliterisasi Arab Latin,
yang diterbitkan oleh IAIN Ar-Raniry Tahun 2010.
1.7.
Sistematikan Pembahasan
Berdasarkan
permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan
skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab satu,
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua, mengenai landasan teoritis
terhadap sadd adz-dzari’ah, yang berisi teori dan pengertian dan legalitas
sadd adz-dzari’ah, kedudukan dan dasar hukum sadd adz-dzari’ah, macam-macam sadd
adz-dzari’ah, bentuk-bentuk sadd adz-dzari’ah, konsep dan pengelompokan sadd adz-dzari’ah,
dan pandangan ulama terhadap sadd
adz-dzari’ah.
Bab tiga, mengenai nikah sirri menurut
konsep sadd adz-dzari’ah, berisi tentang tinjauan konsep sadd adz-dzari’ah
terhadap nikah sirri, pengertian nikah
sirri, nikah sirri dalam kajian fiqih, dampak yuridis dan sosiologis dari nikah sirri, terhadap istri dan anak, bagi suami, faktor-faktor
yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri, dan aplikasi konsep sadd adz-dzari’ah
terhadap nikah sirri.
Bab empat,
merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari
permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.
[2]Abdul Karîm Zaidan, al
Wajîz fî Ushûl al Fiqh, (Beirut: Muassasah ar Risâlah, 1996), cet 5, hlm.
245-246.
[3]Yusuf al-Qardhawi. Zawaj
al Misyar, (terj.
Haqiqotuhu wa Hukmuhu), (Kairo: Maktab Wahbah, 1999), hlm. 355.
[4]Pasal
7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
[5]Muhammad Amin Suma, Himpunan UU Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara
Untuk Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). hlm. 329.
[6]Mukhtar
Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1986), hlm. 295.
[7]Djazuli, H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, Perkembangan, Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.164.
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana 2008). hlm. 405.
[9]Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet.2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 30.
[10]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1989),
Cet.3, hlm. 29.
[11]Republika, Mereduksi Fenomena Kawin Di bawah Tangan, (Jakarta: Republika Edisi,
1995), hlm. 6
[12]Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar