Laman

Senin, 23 September 2013



TINDAK PIDANA KEJAHATAN DUNIA MAYA
(Kajian Terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 dan Fiqih Jinayah)


1.1.  Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya. Teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar biasa, karena sedemikian pesatnya, pada gilirannya manusia, yang kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikannya. Bahkan bisa dikatakan teknologi berbalik arah mengendalikan manusia. Pada penghujung abad ke-20 ini telah ditemukan beberapa karya dibidang teknologi informasi, diantaranya adalah internet. Internet merupakan suatu alat yang memungkinkan hidup secara maya (virtual). Kehadiran internet ini telah membawa dampak yang sangat luar biasa. Maka dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Pasal 1 yaitu:
a.       Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
b.      Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, Jaringan komputer, dan/ atau Media elektronik lainnya.
c.       Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/ atau menyebarkan informasi.[1]
Dengan internet manusia dapat berbelanja, bersekolah dan beberapa aktivitas lain layaknya kehidupan nyata. Sehingga pada gilirannya, kehadiran internet memunculkan anggapan yang membagi kehidupan secara dikotomis menjadi real life (kehidupan nyata) dan virtual life (kehidupan maya). Awalnya, teknologi (internet) sebetulnya merupakan sesuatu yang bersifat netral. Disini diartikan bahwa teknologi itu bebas nilai. Teknologi tidak dapat dilekati sifat baik dan jahat. Akan tetapi pada perkembangannya kehadiran teknologi dipergunakan dari pihak-pihak yang berniat jahat untuk menyalahgunakannya.
Dalam perspektif ini, teknologi bisa dikatakan juga merupakan faktor kriminogen, faktor yang menyebabkan timbulnya keinginan orang untuk berbuat jahat atau memudahkan terjadinya tindak kejahatan. Pada dekade terakhir, telah muncul kejahatan dengan dimensi baru, sebagai akibat dari penyalagunaan internet. Seperti halnya di dunia nyata, internet ternyata mengundang banyak kriminal dalam beraksi, baik untuk mencari keuntungan materi maupun untuk sekedar melampiaskan keisengan. Hal ini memunculkan fenomena khas yang sering disebut dalam bahasa asing sebagai cyber crime (kejahatan di dunia maya).
Dari ungkapan ini tampak jelas mengisyaratkan bahwa kejahatan ini locus delicti-nya adalah dunia maya atau cyber. Hal inilah yang membedakannya dengan kejahatannya dengan kejahatan konvensional, yang locus delicti-nya adalah dunia nyata tempat kita berada. Munculnya fenomena baru tersebut bagi sebagian orang telah mengubah perilakunya dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga memunculkan adanya norma-norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya.
Menurut Soerjono Soekanto, kemajuan dibidang teknologi itu telah membentuk masyarakat informasi internasional, termasuk di Indonesia.[2] Sehingga, satu sama lain menjadikan belahan dunia ini sempit dan berjarak pendek. Berbisnis pun begitu mudahnya, seperti membalikkan telapak tangan saja. Menurut Syamsul Muarif, teknologi telah mengubah pola kehidupan manusia diberbagai bidang, sehingga secara langsung telah mempengaruhi munculnya perbuatan hukum baru dimasyarakat.[3]
Bentuk-bentuk perbuatan hukum itu perlu mendapatkan penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundangan yang sudah ada, mengganti yang tidak sesuai lagi, dan membentuk ketentuan hukum yang baru. Pembentukan peraturan perundangan di era teknologi informasi ini harus dilihat dari berbagai aspek. Misalnya dalam hal pengembangan dan pemanfaat rule of law dan internet, jurisdiksi dan konflik hukum, pengakuan hukum terhadap dokumen serta tanda tangan elektronik, perlindungan dari privasi konsumen, cyber crime, pengaturan konten dan cara-cara penyelesaian sengketa domain.
Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya penemuan-penemuan baru seperti internet, merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan sosial, disamping penyebab lainnya seperti bertambah atau berkurangnya penduduk, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Hal yang sama dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa, dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial.[4] 
Sistem teknologi dalam pelaksanaannya terpaksa berbenturan dengan nilai-nilai moral. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh produk teknologi informasi, seperti internet menyebabkan proses perkembangan teknologi informasi belum mencapai tingkat kemampanan. Jaringan internet pada mulanya hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan (perguruan tinggi) dan Lembaga Penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk publik. Beberapa tahun kemudian, Tim Berners-Lee mengembangkan aplikasi world wide web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik semakin banyak muncul aplikasi-aplikasi bisnis di internet.
Aplikasi bisnis yang berbasiskan teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya aspek financial. Misalnya, internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/ reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, dan sebagainya. Hal ini mempermudah konsumen dalam menjalankan aktivitas/ transaksi bisnisnya. Konsumen tidak perlu keluar rumah dan antri untuk memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.
 Mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan tersebut, dengan kata lain, undang-undang pidana kita mampu menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya (cyber crime). Pakar hukum teknologi informasi, Imam Syahputra menyatakan bahwa persoalan hukum teknologi internet yang bermunculan belakangan ini telah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan perundangannya.[5]  Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan bahwa, yaitu:
“Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan Undang-Undang”.     
Pasal itu menegaskan kalau pelaku kejahatan internet belum tentu dapat dikenakan sanksi pidana. Selain berbenturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum positif mengharuskan adanya alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakwa dalam pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi informasi sulit dilakukan pembuktiannya. Salah satu contoh kasus kejahatan dunia mayantara (cyber crime) yang dilakukan oleh seorang cracker adalah pencurian dan pengguna account internet milik orang lain.
Bentuk kesulitan yang umum dihadapi ISP (Internet Service Provider) adalah adanya account pelanggaran yang dicuri dan digunakan secara tidak sah. Berbeda dengan pencurian yang dilakukan secara fisik, pencurian account internet cukup dilakukan dengan menangkap user id dan  password sehingga, hanya informasi yang dicuri. Semetara itu orang yang account-nya dicuri tidak merasakan hilangnya benda yang dicuri. Pencurian baru terasa efeknya jika informasi ini digunakan oleh yang tidak berhak. Akibat dari pencurian ini, pelanggan dibebani biaya penggunaan account tersebut.
Kasus ini banyak dihadapi oleh ISP di Indonesia namun yang pernah diangkat adalah penggunaan account curian oleh dua Warnet di Bandung. Pada dasarnya kejahatan yang ditimbulkan dalam cyber crime itu sangat beragam bentuknya, dan kejahatan ini bukan hanya terfokus dengan satu kejahatan saja melainkan sangat beragam. Adapun ragam dari kejahatan tersebut yaitu penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi, pencemaran nama baik, perjudian, perdagangan narkoba dan terorisme. Kejahatan-kejahatan tersebut telah membuat pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE 2008.[6] Undang-undang inilah yang selama ini sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar kalangan masyarakat, karena dengan terwujudnya undang-undang tersebut dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh cyber crime.
Untuk mengatasi keamanan gangguan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, di intersepsi, atau di akses secara illegal dan tanpa hak. Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalah gunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi kebijakan hukumnya, sehingga cyber crime yang terjadi dapat dilakukan penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya. Dikatakan teramat penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-Undang yang telah ada sebelumnya (Asas Legalitas), juga perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) yakni, sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” atau dalam istilah dikenal, “tiada pidana tanpa kesalahan”.[7]
Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila dikaitkan dengan cyber crime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan perbuatan pidana. Akhirnya, dengan melihat pentingnya persoalan pembuktian dalam cyber crime, skripsi ini hendak mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Hukum Pembuktian terhadap cyber crime dalam Hukum Pidana Indonesia.
Oleh karena itu alasan-alasan di atas, pembuktian-pembuktian dalam cyber crime cukup sulit dilakukan, mengingat, bahwa hukum di Indonesia yang mengatur masalah ini masih banyak cacat hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku cyber crime untuk lepas dari proses pemidanaan.[8] Kegiatan cyber crime meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber crime sudah tidak ada tempatnya lagi untuk dikategorikan sesuatu dengan ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber crime adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan pidana) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah usaha yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral. Dengan demikian dalam usaha untuk menentukan suatu  kebijakan apapun (termasuk kebijakan hukum pidana) selalu terkait dan tidak terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri yakni bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.[9]
Selain itu, perkembangan hukum di Indonesia terkesan lambat, karena hukum hanya akan berkembang setelah ada bentuk kejahatan baru. Jadi hukum di Indonesia tidak ada kecenderungan yang mengarah pada usaha preventif atau pencegahan, melainkan usaha penyelesaiannya setelah terjadi suatu akibat hukum. Walaupun begitu, proses perkembangan hukum tersebut masih harus mengikuti proses yang sangat panjang, dan dapat dikatakan, setelah negara menderita kerugian yang cukup besar, hukum tersebut disahkan. Kebijakan hukum nasional yang kurang bisa mengikuti perkembagan kemajuan teknologi tersebut, justru akan mendorong timbulnya kejahatan-kejahatan baru dalam masyarakat yang belum dapat dijerat dengan menggunakan hukum yang lama. Padahal negara sudah terancam dengan kerugian yang sangat besar, namun tidak ada tindakan yang cukup cepat dari para pembuat hukum di Indonesia untuk mengatasi masalah tersebut.
Dari beberapa penjelasan mengenai cyber crime tersebut, yang menjadikan ketertarikan bagi penulis untuk mengangkat tema tentang “TINDAK PIDANA KEJAHATAN DUNIA MAYA (Kajian Terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 dan Fiqih Jinayah)”.


1.2.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan dari latar belakang diuraikan tersebut di atas, maka penulis mempunyai beberapa rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
1.      Bagaimana pembahasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang kejahatan dunia maya?
2.      Bagaimana kendala yang dihadapi oleh Perangkat hukum di Indonesia untuk menangani para pelaku Kejahatan dunia Maya terkait dengan masalah pembuktian?
3.      Bagaimana pembahasan Hukum Islam tentang Kejahatan dunia maya?

1.3.  Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan Penelitian ini adalah, yaitu :
1.         Untuk mengetahui pembahasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang kejahatan dunia maya.
2.         Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Perangkat hukum di Indonesia untuk menangani para pelaku Kejahatan dunia Maya terkait dengan pembuktian.
3.      Untuk mengetahui pembahasan Hukum Islam tentang Kejahatan dunia maya.

1.4.  Penjelasan Istilah
            Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman maka perlu dijelaskan istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini. Adapun istilah tersebut yaitu :
1.      Cyber Crime
2.      Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
3.      Perspektif  Fiqih Jinayah
Ad  1. Cyber Crime
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Cyber Crime diartikan merupakan bentuk kejahatan dalam dunia maya yang dilakukan dengan menggunakan fasilitas jaringan internet dan komputer, yang menimbulkan berbagai macam kejahatan, antara lain yaitu terjadinya kasus.[10]
Ad. 2. Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik

            Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik data interchange (EDI), surat elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
            Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/ atau media elektronik lainnya.
Ad. 3. Perspektif  Fiqih Jinayah
            Perspektif Fiqih Jinayah adalah studi analisis menurut aturan hukum Islam yang tergali dari Al-Qur’an dan as-Sunnah atau hasil dari ijtihad para Ulama yang berkaitan dengan jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yaitu pelanggaran yang tidak disebutkan jenis dan sanksi kejahatannya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga jenis dan saksinya ditentukan oleh kebijakan Waliyyul Amri atau Qadli.

1.5.  Kajian Pustaka
Kejahatan Dunia Mayantara (cyber crime) adalah representasi dari kejahatan internasional yang menggunakan hitech karena ciri dan kejahatan yang paling menonjol adalah boderless atau tidak mengenal batas negara. Teknologi relatif tinggi artinya hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup melakukan kejahatan ini serta serta open resources mediator atau dapat menjadi media untuk berbagai kejahatan antara lain kejahatan dibidang perbankan, pasar modal, seks, pembajakan hak-hak intelektual serta terorisme dan yang lebih tepat lagi termasuk
transnational crime.
Pada dasarnya cyber crime adalah penyalahgunaan komputer dengan cara hacking komputer ataupun dengan cara-cara lainnya merupakan kejahatan yang perlu ditangani dengan serius, dan dalam mengantisipasi hal ini perlu rencana persiapan yang baik sebelumnya. Karena kejahatan ini potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang: politik, ekonomi, sosial budaya dan lebih memprihatinkan dibandingkan dengan ledakan bom atau kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya bahkan dimasa akan datang dapat mengganggu
Perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan dsb). secara serius mengantisipasi cyber crime dan permasalahan lainnya yang berhubungan dengan kejahatan internasional yang menggunakan hitech karena kejahatan ini sangat intens, jangkauannya sangat luas serta pelaku rata-rata mempunyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai komunitas tersendiri, serta memerlukan penanganan secara komprehensif. Walaupun permasalahan Kejahatan Dunia Mayantara (cyber crime) sudah dibahas oleh penulis lain, yakni:
1.      Cyber Crime dalam Prespektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam” oleh Abidin pada tahun 2005. di dalam skripsinya dijelaskan mengenai cybercrime merupakan suatu pengaksesan yang dilakukan secara ilegal yang mengakibatkan kerugian pada terhadap pengguna jaringan internet. Dengan berdasarkan sanksi hukuman KUHP Pasal 167 dan 406 (1) KUHP.
2.      Hacking Komputer dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam” (Studi Analisis Tentang Kejahatan Komputer) oleh Khuzaimatus Sholikha pada tahun 2005. Di dalam skripsi yang kedua ini lebih memaparkan pada “Hacking Komputer” yang merupakan suatu pengaksesan terhadap sistem komputer tanpa izin dari pemiliknya, sehingga dapat mengakibatkan kerugian pada pengguna internet maupun pemilik situs komputer. Dalam hukum pidana hacking komputer merupakan salah satu bentuk kejahatan komputer. Bagi pelaku kejahatan komputer tersebut pemberian sangsi hukuman sesuai dengan unsur-unsur yang berkaitan dengan Pasal 167 (1) KUHP dan ketentuan pasal
3.      22 jo 40 UU No.36 tahun 1999, dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 50 jo 56 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dari kajian kedua skripsi diatas menunjukkan bahwa antara cyber crime atau hacking komputer merupakan suatu kejahatan yang hanya melanggar batas wilayah suatu negara dan pengaksesan terhadap sistem komputer tanpa izin dari pemiliknya. Jika kita telaah kembali pada hakikatnya dampak dari cyber crime bukan hanya pada pengaksesan sebuah komputer atau melanggar batas wilayah suatu negara melainkan berbagai macam kejahatan antara lain: pencurian (carding), pengrusakan atau penghancuran barang yang berkaitan dengan komputer, pornografi yang dapat ditonton secara bebas, penipuan, penggelapan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
 Dari segala macam bentuk kejahatan tersebut maka dalam pembahasan. skripsi ini yaitu lebih mengarah pada kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran kesusilaan (pornografi) yang dapat mengakibatkan pencemaran nama baik dan terjadinya kasus pencurian. Yang berkaitan dengan Undang-Undang ITE Nomor 11 tahun 2008, dan hal inilah yang membedakan antara kedua skripsi tersebut.

1.6.  Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka upaya pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah dalam penelitian ini secara keseluruhan bersifat Library Reseach (penelitian kepustakaan), yaitu dengan cara mengambil data-data penelitian yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya dan ketentuan-ketentuan pidananya.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan menelaah kitab-kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, Al-Qur’an, Al-hadist, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hubungannya dengan topik pembahasan skripsi. Bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer bahkan bahan hukum sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus. Untuk terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Yayasan Penterjemah Penafsiran Al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia.
Akhirnya dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku pedoman karya tulis ilmiah dan pendoman transliterisasi Arab latin, yang diterbitkan oleh IAIN Ar-Raniry Tahun 2010.
1.7.  Sistematika Pembahasan
            Berdasarkan permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab Satu, Pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Penjelasan Istilah, Kajian pustaka Metode penelitian, dan Sistematika pembahasan.
Bab Dua, mengenai landasan teoritis yang memuat tentang Kejahatan dan Sanksi Hukuman dalam Fiqih Jinayah. Di sini menjelaskan tentang Pengertian Tindak Pidana, Jinayah dan Jarimah; Unsur-Unsur Jinayah dan Jarimah, Teori Pembuktian Fiqh Jinayah. Klasifikasi Jarimah; Jarimah Hudud, Jarimah Qisas, dan Jarimah Ta’zir, serta Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah. Yang sekaligus merupakan kerangka untuk mendasari tulisan skripsi ini.
Bab Tiga, mengenai tentang Eksistensi dan Antisipasi Kejahatan Maya (cyber crime). Di sini menjelaskan tentang Pengertian Eksistensi Kejahatan Dunia Maya; Pengertian Kejahatan dan Kejahatan Dunia Maya, Faktor-Faktor Laju Pertumbuhan Dunia Maya. Upaya penanggulangan kejahatan dunia maya di Indonesia; Menjerat Pelaku, Alat-Alat Bukti. Upaya penanggulangan kejahatan dunia maya Menurut Undang-Undang ITE Dalam Perspektif Fiqih Jinayah dan Analisis penulis. 
            Bab Empat, merupakan bab penutup yang memuat semua kesimpulan dan saran-saran dari permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.


mau skripsi lengkap bisa hubungi ke no hp 085373322117

[1]Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (Bandung: Nuasa Aulia, 2009), hlm. 3.
[2]Soekanto, Soerdjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 87-88.

[3]Syamsul Muarif, Menunggu Lahirnya Cyber Law, http//www.cybernews.cbn.net.id 26 Desember 2004.
[4]Raharjo, Sadjipto, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 2000), hlm. 96.
[5]Mansur, Didik M. Arief, Cyber Law (Aspek Hukum Teknologi Informasi), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm. 7.
[6]Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), hlm. 12.
[7]Ahmad M. Ramli, Menuju Kepastian Hukum Di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik RI, (Jakarta: Peger Gunung, 2005), hlm. 1.

[8]Sutanto, Hermawan Sulistyo, dan Tjuk Sugiarto (ED), Cyber Crime Motif  dan Pemidanaan, (Jakarta: Pensil, 2005), hlm. 13.
[9]Sutarman, Cyber Crime Modus Operandi dan Penanggulangannya, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2007), hlm. 4.
[10]Sulchan Yasyin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1995), hlm. 214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar