PEMBERATAN HUKUMAN TERHADAP RESIDIVIS
DI DALAM KUHP DITINJAU MENURUT HUKUM
ISLAM
1.1.Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum,
ketentuan ini tercantum dalam UUD 1945
yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
tidak berdasarkan kekuasaan belaka”. Dalam pembukaan tidak diamanatkan kepada
bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukum
yang diciptakan oleh manusia serta menciptakan keadaan yang teratur,
aman dan tertip.[1]
Ketika berbicara tentang kejahatan, maka persepsi yang pertama muncul
adalah pelaku kejahatan, mereka disebut penjahat, kriminal, atau lebih buruknya
lagi, sampah masyarakat. Maka tidak
heran bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan
penghukuman terhadap pelaku.[2] Adapun pengertian secara umum tentang pemberatan hukuman yaitu seseorang
melakukan kejahatan yang sejenis (homologus
residivis) artinya ia mengulangi suatu tindak pidana dan mengulangi
perbuatan yang sejenis dalam batas waktu yang tertentu, misalnya lima tahun
terhitung sejak terpidana menjalani masa hukumannya.
Dalam istilah hukum positif
Pengertian pengulangan tindak pidana (residivis) adalah dikerjakannya suatu
tindak pidana oleh seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah
mendapat keputusan akhir.[3] Artinya,
pemberatan pidana terhadap residivis dapat berlaku apabila ia telah
mendapatkan keputusan hukum yang tetap atas perbuatan yang sama.
Adapun sebab-sebab terjadinya
pemberatan pidana adalah sebagai berikut:
1.
Pelakunya
adalah orang yang sama.
2.
Terulangnya
tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijauhi pidana oleh suatu
keputusan hakim
3.
Si
pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan
terhadapnya.
Jika pada waktu melakukan kejahatan helurn lewat lima
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu
juga dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan (Pasal 393).
Adapun syarat pemberatan pidana mengenai
masalah resedivis di dalam KUHP telah diatur sebagai berikut:
- Menyebutkan dengan mengelompokkan tindakan-tindakan pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat menjadi pengulangannya. Tindak pidana tersebut disebutkan dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
- Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387 dan 388 itu, KUHP juga menentukan tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Misalnya dalam Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 485 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3).
Perlu ditegaskan bahwa unsur melakukan kejahatan yang sama inilah yang
menyebabkan pemberatan pidana. Setiap orang di pidana dan telah menjalani
hukuman kemudian melakukan tindak pidana lagi, di sini ada pengulangan tanpa
memperhatikan syarat-syarat lain. Tetapi pengulangan dalam hukum pidana yang
merupakan dasar pemberatan pidana ini tidaklah cukup hanya melihat berulangnya
melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan dalam undang-undang.[5]
Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi
perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana
diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri[6].
Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan
manusiawi. Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara
sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga
Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya tidak ada bedanya dengan
penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah
kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman
penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini
menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana
melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.
Dalam KUHP Indonesia tidak dikenal
aturan umum tentang pengulangan kejahatan. Namun hanya disebutkan sekumpulan
perbuatan tindak pidana yang bisa menimbulkan pengulangan kejahatan. Aturan
tentang pengulangan kejahatan tidaklah dibicarakan dalam Buku Pertama yang
berisi tentang aturan umum, tetapi diletakkan di bagian penutup Buku kedua,
tepatnya pada Pasal 486, 487, dan 488 yang berisi penyebutan beberapa macam
tindak pidana yang menimbulkan
pengulangan kejahatan[7].
Dalam Hukum Islam telah
disepakati bahwa seorang pelaku tindak pidana harus dijatuhi hukuman yang telah
ditetapkan untuk tindak pidana tersebut, tetapi jika pelaku kembali mengulangi
tindak pidana yang pernah dilakukannya, maka hukuman yang akan dijatuhkan
kepadanya dapat diperberat. Apabila ia terus mengulangi tindak pidana tersebut,
ia dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.[8]
Kewenangan untuk menentukan hukuman tersebut diserahkan kepada penguasa dengan
memandang kondisi tindak pidana dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Contohnya,
perbuatan liwat (homoseksual) bagi
yang qhair muhsan, maka kedua pelaku perbuatan liwat tersebut harus
dijatuhi hukuman yang sama yang telah ditetapkan untuk tindak pidana tersebut.
Jika di kemudian hari kedua orang tersebut kembali mengulangi perbuatan liwat tersebut dan hukuman yang
dijatuhkan rupanya tidak bisa memberikan efek jera serta tidak mampu
mencegahnya, maka keduanya dapat dijatuhi hukuman mati karena kejinya perbuatan
liwat tersebut yang ditakutkan dapat
menular kepada orang lain dan merusak moral.
Contoh lainnya adalah tindak pidana pencurian, apabila seseorang selalu
mengulangi tindak pencurian, maka ia dapat dijatuhi hukuman seumur hidup atau
sampai ia menampakkan tobatnya.[9]
Hukum Islam telah menetapkan
aturan-aturan pokok pengulangan tindak pidana secara keseluruhan. Meskipun
demikian, para fuqaha tidak membedakan antara pengulangan umum dan pengulangan
khusus, juga pengulangan sepanjang masa dan pengulangan berselang waktu.
Dari paparan di atas penulis
akan menguji lebih detil dan mendalam tentang pemberatan hukuman bagi residivis
menurut KUHP ditinjau dari pandangan hukum Islam. Penelitian ini bersifat analisis tentang hukum positif Indonesia yaitu KUHP dan
tentang hukum Islam.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah pokok yang
menjadi kajian penulis adalah bagaimana tinjauan hukum Islam tentang pemberatan
hukuman bagi para rasidivis sebagaimana yang tertuang di dalam KUHP. Dari permasalahan pokok tersebut, maka
timbul dua pertanyaan penelitian, yaitu :
1. Bagaimana aturan KUHP Indonesia menetapkan
unsur-unsur pemberatan hukuman bagi para residivis?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
pemberatan hukuman bagi residivis yang diatur dalam hukum
positif Indonesia?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian
yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan tentang aturan KUHP Indonesia menetapkan
unsur-unsur pemberatan hukuman bagi para residivis.
2. Untuk menjelaskan bagaimana pandangan
hukum Islam terhadap pemberatan hukuman bagi residivis dalam aturan KUHP
Indonesia.
1.4. Penjelasan Istilah
Agar
tidak terjadi kesalah fahaman dalam memahami dan menafsirkan pengertian dari
judul yang akan dibahas, maka perlu dijelaskan beberapa definisi yang berkaitan
dengan judul di atas antara lain:
1.4.1. Residivis
Residivis (Pengulangan tindak
pidana) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sesudah ia
melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir.[10] Artinya,
pemberatan pidana terhadap residivis dapat berlaku apabila ia telah
mendapatkan keputusan hukum yang tetap atas perbuatan yang sama.
1.4.2. Hukum Positif
Hukum
Positif adalah hukum yang berlaku pada saat sekarang. Dalah hal hukum positif
di Indonesia adalah hukum yang berlaku pada saat ini di Indonesia.[11]
1.4.3. Hukum Islam
Hukum
Islam adalah segala peraturan yang diciptakan oleh Allah SWT yang bertujuan
untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, hubungan sesama Muslim, hubungan sesama
manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.[12]
1.5. Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai masalah
Residivis telah banyak dibahas bagi para ahli hukum. Pembahasan tentang
Residivis juga dapat dilihat dalam buku-buku skripsi dan tesis. Diantara
buku-buku yang membahas masalah Residivis antara lain buku Pelajaran
Hukum Pidana Bagian Dua oleh Adami Chazawi. Dalam buku ini mebahas tentang
pengertian residivis, jenis-jenis residivis dan syarat-syarat suatu pengulangan
pidana di katagorikan kedalam residivis.
Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana karangan R. Soenarto
Suerodibroto. Buku ini merupakan buku dasar rujukan dalam pembahasan Residivis.
Selain buku-buku yang
disebutkan di atas, juga terdapat beberapa buku lainnya yang berkaitan dengan
Residivis, diantaranya buku karangan A.Djzuli dengan judul Fiqh Jinayah. Namun beberapa buku terakhir yang
disebutkan di atas tidak sepenuhnya membahas tentang Residivis secara rinci,
akan tetapi buku-buku yang telah disebutkan diatas hanya membahas residivis
secara umum.
Penulis juga merujuk kepada Buku Ensiklopedi Hukum Pidana Islam yang
diterbitkan oleh PT. Kharisma Ilmu di Bogor pada tahun 2007, Buku yang dikarang
oleh Abdul Qadir Audah ini menjelaskan konseb dari Hukum Pidana Islam beserta
landasan dan dalil tentang pelaksanaan Hukum Pidana Islam
`1.6. Metode Penelitian
Pada
prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmia selalu memerlukan data-data yang
lengkap dan objektif serta mempunyai metode penelitian dan cara tertentu yang
disesuaikan dengan permasalahan yang hendak dibahas. Dalam membahas
permasalahan ini, penulis mengunakan metode deskriptif komparatif, yakni dengan
membandingkan aturan hukum tentang pemberatan hukuman bagi residivis dalam KUHP
dan hukum Islam.
Dalam
pengumpulan data, penulis melakukan studi kepustakaan (library research)
yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dibahas, di dalam
al-Qur’an, al-Hadist, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada
hubungannya dengan topik pembahasan skripsi. Bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer bahkan
bahan hukum sekunder yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan
metode deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.
Untuk terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dalam penulisan skripsi ini, penulis
mengambil dari al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Yayasan
Penterjemah Penafsiran al-Qur’an Kementerian Agama Republik Indonesia 1995.
Akhirnya dalam penulisan dan
penyusunan karya ilmiah ini penulis berpedoman pada buku pedoman karya tulis
ilmiah dan pendoman transliterisasi Arab latin, yang diterbitkan oleh IAIN
Ar-Raniry Tahun 2010.
1.7.Sistematika pembahasan
Berdasarkan
permasalahan dan beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya maka susunan
skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu:
Bab Satu, Pendahuluan yang berisi
Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Penjelasan Istilah,
Kajian pustaka, Metode penelitian, dan Sistematika pembahasan.
Bab Dua, mengenai Tindak Pidana
Residivis dalam KUHP dan Hukum Islam yang berisi teori dan Pengertian Recidive (Residivis), Faktor-faktor
penyebab timbulnya pengulangan Tindak Pidana residivis, Pengertian residivis
dalam Konsep KUHP, Aturan mengenai
Residivis dalam Hukum Islam.
Bab Tiga, mengenai Analisis hukum
Islam terhadap pemberatan hukuman bagi residivis, berisi Tentang aturan KUHP Indonesia dalam hal pemberatan
hukuman bagi para residivis, Pandangan hukum Islam terhadap pemberatan hukuman
bagi residivis yang diatur dalam hukum positif Indonesia, Macam-macam
pemberatan pidana terhadap residivis, Pemberatan pidana terhadap residivis
menurut hukum Islam, Pemidanaan dalam hukum Islam dan Analisa penulis.
Bab
Empat, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari
permasalahan-permasalahan yang penulis bahas.
[2]
Raid, Soetitus, Criminal Criminologi, (San
Fancisco: Fourth Edition). hlm.92
[3] R.
Soenarto Suerodibroto, KUHP dan KUHAP,
(Jakarta : Raja
Grafindo), hlm.310
[4] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I. (Jakarta: Sinar Grafika), hlm.431-432
[5] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 81.
[6]
Herbert L. Packer, 'The Umits of The
Criminal Sanction' (Jakarta : Raja
Grafindo,2005), hlm. 112.
[7] R.
Soenarto Suerodibroto, KUHP dan KUHAP,
Op. Cit., hlm. 312.
[8] Barda Nawawi Arif., Perbandingan
Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Parsada, 1990) hlm.134.
[9]A.Djzuli, Fikih Jinayah. Cet I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
86.
[10] R. Soenarto Suerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), hlm. 310.
[11] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: Fasco,
1969), hlm.35
[12] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar