PEMBUNUHAN BERANTAI PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
sejarah peradaban manusia, jenis kejahatan yang pertama kali muncul adalah
tindakan pembunuhan. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam firman Allah SWT
yang berbunyi:
لئن بسطت
إلي يدك لتقتلني
ما أنا بباسط
يدي إليك لأقتلك
إني أخاف الله
رب العلمين, إني
إريد أن تبوأ
بإثمي وإثمك فتكون
من أصحب النار
وذلك جزؤا الظلمين,
فطوعت له نفسه
قتل أخيه فقتله
فأصبح من الخسرين[1]
Ayat
tersebut menggambarkan peristiwa yang terjadi pada putera Adam: Qabil dan
Habil. Dengan demikian kasus penghilangan nyawa tampaknya telah berusia seusia
umat manusia di muka bumi.
Peristiwa
pembunuhan maupun penganiayaan terus mengalami perkembangan yang diiringi
dengan gaya dan model yang sangat beragam, dari cara yang paling sederhana
sampai yang sangat tercanggih. Banyak peristiwa kejahatan atau pembunuhan yang
dapat disaksikan dan bahkan pembunuhan yang sudah melampaui batas kemanusiaan,
moral dan hukum. Perilaku pembunuhan sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa
seseorang sudah tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan
aturan-aturan etika dan bahkan keimanan. Dan hal ini juga menunjukkan bahwa
kasus pembunuhan dengan berbagai motif yang menunjukkan bahwa manusia telah
kehilangan kesadaran moralitasnya. Oleh sebab itu setiap kriminal yang
dilakukan mengganggu kedamaian dan ketentraman masyarakat akan dianggap sebagai
kejahatan terhadap Allah, Sang Pencipta. Sebagaimana diketahui, masyarakat
tidak berhak zalim pribadi anggotanya jika kepentingan individu itu tidak
menimbulkan ancaman terhadap hak-hak orang lain ataupun masyarakat.[2]
Memang
terdapat sejumlah faktor yang mendorong atau menjadi penyebab kuat terjadinya
pembunuhan. Terjadinya suatu pembunuhan, menunjukkan bahwa betapa rendahnya
nilai seorang manusia yang memang telah dihormati dan dimuliakan Tuhan dan yang
seharusnya dilindungi dan dihormati serta dijaga.[3] Secara tegas Allah SWT
menyatakan bahwa manusia adalah mulia. Sedemikian mulianya manusia sehingga
Allah SWT menurunkan apa yang disebut syari'ah dalam rangka menjauhi kelangsungan
hidup manusia.
Islam
memandang tindakan pembunuhan sebagai perbuatan yang pantas mendapat hukuman
yang setimpal. Sebab, akibat lebih jauh dari perbuatan tersebut tidak hanya
merugikan si korban (al-majna `alaih), tapi juga terhadap masyarakat-masyarakat
(al-mujtama'). Bahkan Allah menyatakan, bahwa membunuh seorang sama saja
dengan membunuh semua manusia.[4]
Said
Ramadhan (The Islamic Law) dan juga muhammad Asad (The Principle of
State and Government in Islam) mengajukan tesis bahwa syari'ah hanya
al-Qur'an dan Sunnah, yang lainnya adalah pendapat-pendapat para fuqaha (yang
harus berubah sesuai dengan perubahan masyarakat). Dari konsep-konsep tentang
hukum Islam yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh tersebut di atas, kita dapat
menyetujui pendapat dari Muhammad Hashim Kamali, Ph.D dari IIU Malaysia dalam
bukunya "Principles of Islamic Jurispudence" bahwa berijtihad
di zaman sekarang ini tidak mungkin dilakukan tanpa menguasai dan memahami
hukum yang berlaku di masyarakat (hukum positif).[5]
Telah
banyak pemikiran tentang bagaimana melaksanakan hukum Islam (syariah)
dalam konteks perubahan-perubahan sosial yang selalu terjadi dalam satu
masyarakat. Bahkan perubahan-perubahan masyarakat itu semakin hari semakin
cepat terjadi. Ilmu dan teknologi telah menjadikan dunia kita semakin menciut
dalam berbagai bidang pengaruh-mempengaruhi. Riak dan gejolak perubahan kecil
dan besar di suatu sudut dunia akan terasa di mana pun di bagian lain dari
dunia itu. Semua perubahan itu harus diantisipasi oleh hukum Islam, ilmu hukum
Islam tidak dapat berdiam diri kalau hukum islam itu menghendaki berlaku di
masyarakat. Hukum yang diam akan menjadi fosil-fosil sejarah yang layak untuk
di tempatkan di museum saja, untuk dinyanyikan dan didendangkan. Padahal hukum
syari'ah menurut keimanan kita adalah buat segala zaman dan segala tempat. Maka
dapat dimengerti kalau di setiap zaman di pelbagai penjuru dunia ada saja
orang-orang yang tercatat dalam sejarah melontarkan tentang konsep-konsep hukum
Islam untuk mengantisipasi perubahan-perubahan masyarakat itu.[6]
Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah:
Pada masa
jahiliah sebelum Islam, orang-orang Arab selalu cenderung untuk membalas dendam
bahkan terhadap hal yang telah dilakukan beberapa abad sebelumnya. Kalau
seorang anggota keluarga atau suku mereka dibunuh oleh anggota keluarga lain,
maka pembalasan dilakukan dengan membunuh orang yang tak berdosa dari keluarga
musuhnya. Sehingga rantai reaksi yang telah dimulai tak akan berakhir
selama beberapa turunan. Ada suatu peristiwa masyhur yang tercatat dalam
buku-buku sejarah bahwa seorang lelaki tua, di pembaringannya menjelang ajal,
memanggil semua anak lelakinya mendekat ke sisinya, lalu memperingatkan mereka:
"Aku akan mati tetapi aku belum menuntut balas dari beberapa suku
tertentu. Jika kamu menginginkan agar aku memperoleh kedamaian setelah mati,
maka balas dendamlah atas namaku.
Semua hukum
Islam diperkenalkan secara bertahap. Pada mulanya, pembalasan juga
diperintahkan dalam kasus melukai, tetapi hal ini sebelum adanya perintah yang
tegas, lalu turun wahyu yang membatasinya hanya dalam kasus pembunuhan.
Meskipun demikian, keluarga atau orang yang menderita karena meninggalnya
lelaki yang dibunuh itu dapat memberikan keringanan dan (cukup ) menuntut "Diyat"
hutang darah tersebut, Diyat itu juga dapat dianggap sebagai pengganti
keputusan hukuman mati, jika terbukti bahwa pembunuhan itu tidak sengaja.[10]
Menurut Ibn
Rusyd, para ulama bermufakat, bahwa diyat diwajibkan dalam pembunuhan yang
dilakukan oleh karena kesalahan. Dalam pembunuhan oleh karena kesengajaan,
mereka bersatu berpendapat, jika hal ini dilakukan oleh orang yang tidak
mukallaf, seperti orang gila dan anak-anak kecil. Tetapi Imam Syafi'i
berpendirian, bahwa dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh orang
muslim terhadap orang kafir, tidaklah berupa qisas, tetapi diwajibkan membayar
diyat. Demikian juga pembunuhan juga pelukaan yang dilakukan oleh orang merdeka
terhadap hamba dengan sengaja, tidak berlaku qisas baginya. Akan tetapi
membayar diyat.
Sama halnya
dengan pendapat Imam as-Syafi'i ini, adalah pendirian Imam Malik, terkecuali
pembunuhan yang dilakukan dengan tipu daya (ghilah) sebaliknya dalam
persoalan tersebut menurut pendapat ulama-ulama Mazhab Hanafi, berlaku hukum
qisas, jika perbuatan dilakukan dengan sengaja.[11]
Pembunuhan
berantai merupakan salah satu dari sekian banyak model dan bentuk pembunuhan
yang sekarang acapkali kita jumpai dan lihat entah itu melalui media cetak atau
pun media elektronik. Sebagai suatu contoh Kriminal dalam tahun 1995 diwarnai
kasus pembantaian satu keluarga, perampokan disertai perkosaan, dan jenis
kejahatan lain yang sangat keji, kejam, dan sadis. Bahkan pembunuhan terhadap
anak kandung sangat mencemaskan masyarakat. Sedikitnya lima kasus pembantaian
secara sadis yang merenggut korban jiwa 4 hingga 7 orang dalam satu keluarga.
Kelima kasus itu masing-masing terjadi di Lampung Utara, Ujungpandang,
Bengkulu, Palembang, Ketapang, dan Jakarta.[12]
Peristiwa yang
terjadi di Ujungpandang, merupakan kasus keluarga Achmadi (35). Dalam peristiwa
itu yang tewas termasuk istri Achmadi bernama Syamsi (33) dan empat anaknya
bernama Sita (11), Indra (9), Andri (5), Wiwi (3), dan seorang pembantu rumah
tangga bernama Piddi (12). Para korban dibantai oleh tersangka pelakunya dengan
benda tumpul dan tajam. Belum tuntas kasus pengungkapan pembantaian keluarga
Achmadi, muncul lagi kasus pembantaian keluarga Hasanudin (38) di bengkulu
pertengahan Agustus 1995. Anggota keluarganya dibantai oleh kawanan perampok
dengan senjata api dan senjata tajam. Mereka yang tewas dalam peristiwa itu,
Hasanudin, istrinya Inem (35) dan tiga anaknya, Pandy (12), Bambang (5), serta
Ida (4). Satu bulan setelah peristiwa itu terjadi lagi pembantaian satu
keluarga di Palembang. Kali ini yang menjadi korban Bejo (52), mantri
kesehatan. Korban bersama istrinya Sriwati (35) serta anaknya Arisusanti (6)
dibantai dengan sadis.[13]
Tindak
pidana (pembunuhan) yang kerap terjadi di masyarakat dunia pada umumnya dan
indonesia khususnya, bisa dikatakan sebagai cerminan kemunduran moral manusia
pada abad ini, bahkan kita selaku umat manusia telah mengulang kembali
masa-masa suram zaman jahiliah bahkan melebihi zaman jahiliah itu sendiri.
Dengan
latar belakang tersebutlah penyusun ingin mengupas lebih lanjut tentang
"PEMBUNUHAN BERANTAI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF" yang sekaligus menjadi judul skripsi penyusun
kali ini.
Pembunuhan berantai sendiri selama ini tidak pernah penyusun
temukan entah itu dari segi pengertian maupun pemahaman secara mendalam/spesifik.
Mulai dari buku-buku hukum ataupun KUHP itu sendiri yang merupakan rujukan
utama para ahli hukum tidak membahas masalah ini. Bermula dari disinilah muncul
ketertarikan penyusun untuk mengangkat masalah ini dengan cara mengqiyaskan
dengan hukum-hukum/undang-undang yang telah ada, baik itu dari hukum Islam atau
hukum positif.
Dalam kamus besar besar bahasa Indonesia pembunuhan
berantai diartikan sebagai berikut:
Pembunuhan adalah proses, perbuatan atau cara
membunuh. Sedangkan berantai adalah memakai rantai, bersambung/berantai-rantai
: bersambung-sambung, berturut-turut. Dengan pengertian yang ada pada kamus
besar bahasa Indonesia ini, secara tidak langsung tidak hanya membuat orang
awam melainkan mahasiswa hukum sendiri masih banyak yang tidak memahami
pengertian dari pembunuhan berantai, ketika peneliti menanyakan tentang
definisi pembunuhan berantai ini kepada orang awam dan mahasiswa hukum itu
sendiri, banyak yang tidak mengerti dan ada pula yang menjawab pembunuhan
berantai adalah “pembunuhan menggunakan rantai”, terlepas jawaban
itu hanya sekedar jawaban spontanitas, pemahaman seperti ini penulis simpulkan disebabkan karena
pemahaman yang kurang mendalam dan kerancuan serta pembahasan yang kurang
mendetail dari para ahli hukum itu sendiri. Hal ini semakin membuat peneliti
bersemangat untuk mengangkat masalah ini.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai
berikut:
- Apakah
sanksi bagi orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan berantai menurut
hukum Islam dan hukum positif.
- Bagaimana
relevansi sanksi bagi tindak pidana pembunuhan berantai dalam konteks
keindonesiaan.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah:
a. Untuk menguraikan secara gamblang tentang
sanksi bagi orang yang melakukan tindak pembunuhan pada umumnya dan pembunuhan
berantai pada khususnya
b. Untuk menjelaskan apakah sanksi yang
dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan berantai masih relevan atau
tidak relevan.
2. Kegunaan
Adapun kegunaan yang
diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam
memperkaya khazanah pemikiran hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam
menjelaskan tentang tindak pidana
pembunuhan berantai
b. Agar hasil penelitian ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu
pengetahuan tentang hukum khususnya.
D. Telaah Pustaka
Penyusun
belum menemukan tulisan yang secara khusus membahas tema mengenai pembunuhan
berantai. Namun penyusun mencoba menelaah dari berbagai literatur yang tentunya
berkaitan dengan judul ini, sehingga dapat menghasilkan penelitian yang
memuaskan.
Di antara
buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini adalah seperti karya Abdul Qadir
Awdah yang berjudul "at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami.[14]
Yang menjelaskan secara luas dalam masalah hukuman, mulai dari pengertian
jarimah sehingga dapat dijadikan sebagai batasan sampai pada hal-hal yang
menggugurkan adanya hukuman. Sementara dalam buku lain, yang hampir sama
bahasannya dengan buku tersebut, adalah buku yang berjudul "Asas-asas
Hukum Pidana Islam"[15] yang memaparkan hukuman
dalam Hukum Pidana Islam adalah sebagai bagian dari pembahasan pada asas-asas
hukum pidana, sekaligus juga membandingkannya dengan hukuman yang diterapkan
dalam hukum yang berlaku saat ini yaitu Hukum pidana positif yang bersumber
dari KUHP dan undang-undang di luar KUHP.
Tindak
pidana terhadap " nyawa" dalam KUHP dimuat pada Bab XIX dengan judul " Kejahatan terhadap Nyawa Orang"
yang diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 350.[16]
Sedangkan
Leden Marpaung dalam bukunya menjelaskan dengan begitu detail mulai dari
pengertian apa itu pembunuhan, macam-macam, dan sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan.
Sehingga buku ini merupakan salah satu dari sekian buku yang akan penyusun
jadikan sumber sekunder untuk melengkapi data-data dari sumber primer (KUHP).
Hanya sayang penulis tidak menemukan komparasi antara hukum positif dengan
hukum Islam.
Dalam buku
yang disusun oleh P.A.F. Lamintang, yang berjudul "Hukum Penitensier
Indonesia", yang memberikan pengertian hukum penitensier sebagai suatu
keseluruhan norma-norma yang mengatur lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan,
lembaga penindakan dan lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh pembentuk
undang-undang dalam hukum pidana material.
Sedangkan
dalam buku pelajaran hukum pidana bagian 2 (dua) karya Adami Chazawi, buku ini
membahas secara langsung masalah tentang perbarengan tindak pidana (concursus
atau samenloop) disertai dengan penjelasan dan sanksi yang akan dijatuhkan
apabila melanggar peraturan tersebut. Tetapi buku ini hanya mengacu pada hukum
pidana positif saja.[17]
Demikian
juga dalam buku karya Andi Hamzah yang diberi judul Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia akan menjadi buku tambahan bagi penyusun, dan juga tidak menutup
kemungkinan untuk buku-buku lain, sebagai literatur tambahan (sekunder)
yang sekiranya merupakan penjabaran dari yang ada dalam literatur pokok (primer).
Sebagaimana
telah penyusun kemukakan di awal, bahwa penyusun belum menemukan karya ilmiah
yang membahas tentang masalah ini, hanya ada beberapa saja yang berkaitan
dengan masalah ini salah satunya adalah skripsi yang berjudul "Tindak
pidana pembunuhan studi komparatif antara hukum pidana Islam dan KUHP" oleh
Muhammad Ihram, skripsi ini hanya membahas mengenai delik pembunuhan saja
secara umum tetapi tidak membahas mengenai pembunuhan berantai (concursus).[18] Yang berikutnya adalah
skripsi Adib Maskuri, "Pembunuhan sengaja menurut hukum pidana Islam
dan KUHP", skripsi ini hanya membahas mengenai pembunuhan sengaja
secara umum dengan mengkomparasikan antara hukum yang satu dengan yang lainnya.[19]
E. Kerangka Teoritik
Manusia
sebagai makhluk sosial, harus bisa berinteraksi dengan semua makhluk yang ada
di muka bumi ini, tak terkecuali manusia itu sendiri. Agar dalam proses
berinteraksi itu manusia tidak terbentur dengan hal-hal yang tidak diinginkan,
maka diperlukan adanya pembatasan-pembatasan terhadap perilaku masyarakat.
Dalam disiplin
ilmu hukum baik itu hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif sudah barang
tentu selain mengatur masyarakat dengan hukumnya juga memberikan sanksi bagi
pelanggar hukum itu agar terjalin kesejahteraan masyarakat sebagai batasan dari
pada hukum tersebut. Sementara dalam hukum yang mengatur masyarakat yang
menjadi dasar adanya suatu sanksi atau hukuman terhadap pelaku kejahatan adalah
sudah ditetapkannya aturan atau undang-undang yang mana dalam hukum pidana
positif dikenal dengan asas legalitas, begitu pula dalam hukum pidana Islam
juga mengenal asas legalitas ini, sebagaimana Firman Allah SWT:
Sehingga berdasarkan ayat ini muncul suatu kaedah
tentang asas ini seperti yang telah dipaparkan oleh Abdul Qadir Awdah yaitu:
Dalam Hukum
Pidana Islam dikenal adanya teori pembalasan yang disebut dengan teori jawahir
dan teori pencegahan Zawajir[22], yang mana suatu jarimah akan diberikan
suatu sanksi atau hukuman sebagai balasan atas perbuatannya itu dan juga
sebagai antisipasi bagi anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan
jarimah yang serupa maupun jarimah-jarimah yang lain yang akan mengakibatkan
adanya suatu hukuman.
Teori pembalasan ini berdasarkan pada Firman Allah SWt:
Dengan demikian aspek preventif merupakan
konsekuensi dari teori zawajir, yang menghendaki suatu pencegahan dari
suatu jarimah terhadap masyarakat maupun terhadap terpidana atau yang telah
melakukan jarimah.
Sehingga berdasarkan teori ini, suatu hukuman
ditetapkan dengan maksud sebagai balasan atas perbuatannya yang merugikan hak
orang lain tentunya dengan balasan yang setimpal, seperti pada jarimah
pembunuhan yang dibalas dengan hukuman mati (qisas) sebagaimana Firman Allah
SWT :
ياأيها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والانثى بالانثى فمن عفي له من اخيه شيء فاتباع بالمعروف واداء اليه باحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب اليم[24]
Dari berbagai persepsi itu memunculkan aliran-aliran
yang berdasarkan teori-teori yang ada hingga saat ini. Menurut Andi Hamzah ada
tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:[25]
Pertama: Teori Absolut atau teori pembalasan (revenge),
yang berpandangan bahwa kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
dijatuhkannya hukuman.
Kedua: Teori Relatif atau tujuan (prevensi),
yang berpendapat bahwa maksud diadakannya hukuman adalah untuk prevensi terjadinya
kejahatan, baik itu prevensi umum maupun yang khusus pada terpidana
Ketiga: Teori Gabungan, yang mana menggabungkan teori absolut
dengan teori relativ, meskipun ada yang condong pada pembalasan dan ada
pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
A.Hanafi dalam bukunya, "Asas-asas hukum
pidana Islam, menjelaskan bahwa pembunuhan berantai (concursus) / (ta'addudu
al-Qotla’), masuk dalam kategori tindak pidana gabungan /gabungan hukuman.
Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah, dan gabungan
jarimah ini dapat dikatakan ada, manakala seseorang memperbuat beberapa jarimah
di mana masing-masingnya belum mendapat keputusan terakhir.
Gabungan jarimah-jarimah adakalanya dalam lahir saja (concursus
idealis) atau adakalanya benar-benar nyata (concursus realis). Dalam
lahir ialah apabila pembuat memperbuat suatu perbuatan yang dapat terkena
bermacam-macam ketentuan, seperti melakukan penganiayaan terhadap seorang
petugas yang sedang menjalankan tugasnya. Dalam hal ini bisa dikatakan terjadi
penganiayaan dan melawan petugas. Gabungan jarimah nyata ialah apabila terjadi
beberapa macam perbuatan dari pembuat, sehingga masing-masing perbuatan bisa
dianggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri. Seperti tukang pencak umpamanya
yang dengan kakinya melukai orang dan dengan tangannya ia menikam orang lain
sampai mati, maka dalam contoh ia menganiaya yang satu dan membunuh yang lain.[26]
Hal ini merupakan cermin dari tujuan ditetapkannya
hukuman yang mana Islam disamping masih memperhatikan terpidana juga
memperhatikan kemaslahatan umat.
Teori-teori yang dikemukakan hukum pidana positif
mempunyai kemiripan dengan apa yang telah ada dalam pembahasan pidana Islam
meskipun masih secara implisit, yang terlihat pada jarimah hudud yang identik
dengan teori hukuman mutlak dan jarimah ta'zir yang identik dengan teori
hukuman relatif.[27]
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber
datanya. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif-komparatif-analitis,
yaitu berusaha memaparkan jenis-jenis hukuman menurut kedua disiplin ilmu Hukum
tersebut sebagai obyek penelitian dan membandingkannya kemudian melakukan
pengkajian secara mendalam atau menganalisa guna mendapatkan kesimpulan yang
relevan dengan pokok permasalahan.
2.
Pengumpulan Data
Karena kajian ini adalah kajian kepustakaan, maka
sumber data utama (primer) dalam skripsi ini adalah al-Qur'an, al-Hadis,
dan KUHP. Sedangkan sumber bantuan atau tambahan (sekunder) adalah
kajian-kajian yang membahas tentang pembunuhan, seperti al-Tasyri' al-Jina'i
al-Islami karya Abdul Qadir Awdah, Asas-asas hukum pidana Islam karya
Ahmad Hanafi, Fiqh Jinayah karya Ahmad Djazuli, Tindak pidana
terhadap nyawa dan tubuh karya Leden Marpaung, Hukum Penitensier
karya P.A.F. Lamintang, dan karya-karya lainnya yang berkenaan dengan masalah
ini.
3.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif
yuridis, yaitu hukum Islam sebagai norma aturan, baik dalam bentuk nas
(al-Qur'an dan as-Sunnah) maupun pendapat para ulama dan ahli ushul fiqh
melalui karya-karya mereka.
4.
Analisis Data
Metode yang dipakai dalam menganalisa data untuk
memperoleh data yang memadai dalam penelitian ini akan menggunakan metode komparatif, yaitu
dengan membandingkan kedua disiplin hukum Pidana itu untuk mengetahui unsur
persamaan dan perbedaan tentang pengertian dan unsur-unsur serta dasar hukum
tindak pidana pembunuhan berantai, dengan melakukan penelitian pada segi
pengertian dan sanksi bagi pelaku pembunuhan tersebut.
G.
Sistematika Pembahasan
Sistematika penyusunan skripsi ini dalam pembahasannya
dibagi dalam lima bab dan setiap bab dibagi dalam sub bab dengan perincian
sebagai berikut:
Pada bab pertama adalah pendahuluan, pada bab
pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan
sistematika pembahasan. Hal ini perlu karena merupakan gambaran awal dimulainya
penelitian dan rencana yang akan dilakukan dalam proses penelitian ini.
Pada bab kedua adalah tindak pidana pembunuhan
berantai dalam perspektif hukum Islam. Pada bab ini berisikan pengertian,
unsur-unsur, dasar hokum, teori gabungan melakukan tindak pidana, bentuk-bentuk
gabungan melakukan tindak pidana dan tujuan pemidanaan dalam Islam.
Selanjutnya pada bab ketiga adalah tindak pidana
pembunuhan berantai dalam perspektif hukum positif. Pada bab ini berisikan
pengertian, unsur-unsur, dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana,
bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana dan tujuan pemidanaan dalam
hokum positif.
Pada bab keempat adalah analisis perbandingan tindak
pembunuhan berantai dalam perspektif
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Sebagaimana pada bab-bab
sebelumnya, sebelum menganalisa diperlukan analisis dari segi pengertian,
analisis dari segi tujuan dan relevansi sanksi dari hukuman tersebut. Karena
ketiga komponen tersebut sangatlah erat kaitannya satu sama lain.
Bab kelima adalah penutup, yang mana dalam bab ini
berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan di sini merupakan jawaban dari pokok
masalah yang ada pada bab pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sumbang
sarannya sebagai refleksi atas realitas yang ada saat ini.
[1][1] Al-Maidah
(5) : 28-30
[2] Abdur
Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari'at Islam ( Jakarta: Rineka
Cipta, 1992 ), hlm.3.
[3] Muhammad
bin Muhammad Abu Shuhbah, al-Hudud fi al-Islam wa Muqaranatuha bi al-Qanun
al-Wad'iyah ( Kairo: al-Hai'ah al-Ammah, 1974 ), hlm. 127.
[4]
Al-Baqarah (2) 178-179.
[5] Prolog:
Prof. Dr.H.Busthanul Arifin, S.H. Dr.A.Qodry Azizy, M.A. : Eklektisisme
Hukum Nasional (Yogyakarta: Gama Media, 2004) hlm. vi
[6]
Ibid
[7] Asjmuni.
A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm.
107.
[8]
Ibid, hlm. 71.
[9] Mukhlish
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 145.
[10]
Abdu-Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam syari’at Islam, (Jakarta, Rineka
Cipta,1992)., hlm. 27.
[11]
Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 310
[12] Leden
Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, cet. Ke-3 (Jakarta:
Sinar Grafika , 2005), hlm. 7
[13] Ibid,
hlm. 8
[14] Abdul
Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'I al-Islami, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, 1994), hlm. 609.
[15] Ahmad
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 55.
[16] Leden
Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh, cet. Ke-3 (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), 19.
[17] Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 2 (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2005).
[18]
Muhammad Ihram, Skripsi Perbandingan hukum pidana Islam dan KUHP
(IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997).
[19] Adib
Masykuri, Delik Pembunuhan Sengaja Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP
(IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001).
[20]
Al-Isra' (17): 15.
[21] Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i,
(Beirut: Dar al-Fikr, 94), hlm. 118..
[22] Abu
Shabih, al-Hudud fi al-Islami, (Kairo: al-Halaah al-'Ammah, 1399/1974),
hlm. 26.
[23]
Al-Zalzalah (99), 7-8.
[24]
Al-Baqarah (2) : 178.
[25]
Andi Hamzah dan A Sumangsalipu, Pidana Mati di Indonesia; di Masa Lalu, Kini
dan di Masa Depan (Jaakarta: Ghalia Indonesia, 1984). hlm. 85
[26] A.
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
hlm. 357
[27] Abdul
Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'I al-Islami, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi), jilid II, hlm.185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar